Pages

Subscribe:

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Pages

Ads 468x60px

Search This Blog

Featured Posts

Kamis, 26 Januari 2012

Hukum Membaca Ramalan Bintang, Zodiak dan Shio

Ramalan salah satu zodiak di tahun 2012: Kehidupan cinta Anda tidak terlalu menyenangkan tahun ini. Akan sulit sekali berkomunikasi dengan si dia, tapi Anda harus berusaha keras jika ada sesuatu yang ingin Anda luruskan. Hubungan Anda mungkin juga akan mengalami perubahan, namun ke arah yang lebih baik. Untuk yang single, pertemuan dengan pria baru akan mengubah hidup Anda. Info-info semacam inilah yang menyebar di tengah-tengah pemuda di awal tahun baru 2012. Untuk menjalani tahun 2012, mereka membaca nasib lewat ramalan bintang atau zodiak tersebut. Mereka ingin mencari tahu bagaimana nasib cinta mereka, bagaimana rizki mereka, dan bagaimana keberuntungan mereka di tahun 2012. Padahal ajaran Islam sangat melarang keras hal ini, namun banyak yang tidak memahaminya karena tidak mau belajar akidah dan mengenal Islam lebih dalam. Ketua Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia (Al Lajnah Ad Daimah) di masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz ditanya mengenai hukum membaca ramalan bintang, zodiak dan semisalnya. Jawaban beliau rahimahullah, Yang disebut ilmu bintang, horoskop, zodiak dan rasi bintang termasuk di antara amalan jahiliyah. Ketahuilah bahwa Islam datang untuk menghapus ajaran tersebut dan menjelaskan akan kesyirikannya. Karena di dalam ajaran tersebut terdapat ketergantungan pada selain Allah, ada keyakinan bahwa bahaya dan manfaat itu datang dari selain Allah, juga terdapat pembenaran terhadap pernyataan tukang ramal yang mengaku-ngaku mengetahui perkara ghaib dengan penuh kedustaan, inilah mengapa disebut syirik. Tukang ramal benar-benar telah menempuh cara untuk merampas harta orang lain dengan jalan yang batil dan mereka pun ingin merusak akidah kaum muslimin. Dalil yang menunjukkan perihal tadi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dalam kitab sunannya dengan sanad yang shahih dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنِ اقْتَبَسَ عِلْمًا مِنَ النُّجُومِ اقْتَبَسَ شُعْبَةً مِنَ السِّحْرِ زَادَ مَا زَادَ “Barangsiapa mengambil ilmu perbintangan, maka ia berarti telah mengambil salah satu cabang sihir, akan bertambah dan terus bertambah.”[1] Begitu pula hadits yang diriwayatkan oleh Al Bazzar dengan sanad yang jayyid dari ‘Imron bin Hushoin, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَطَيَّرَ أَوْ تُطُيِّرَ لَهُ أَوْ تَكَهَّنَ أَوْ تُكُهِّنَ لَهُ أَوْ سَحَّرَ أَوْ سُحِّرَ لَهُ “Bukan termasuk golongan kami, siapa saja yang beranggapan sial atau membenarkan orang yang beranggapan sial, atau siapa saja yang mendatangi tukang ramal atau membenarkan ucapannya, atau siapa saja yang melakukan perbuatan sihir atau membenarkannya.”[2] Siapa saja yang mengklaim mengetahui perkara ghaib, maka ia termasuk dalam golongan kaahin (tukang ramal) atau orang yang berserikat di dalamnya. Karena ilmu ghaib hanya menjadi hak prerogatif Allah sebagaimana disebutkan dalam ayat, قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ “Katakanlah: “Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah” (QS. An Naml: 65). Nasehatku bagi siapa saja yang menggantungkan diri pada berbagai ramalan bintang, hendaklah ia bertaubat dan banyak memohon ampun pada Allah (banyak beristighfar). Hendaklah yang jadi sandaran hatinya dalam segala urusan adalah Allah semata, ditambah dengan melakukan sebab-sebab yang dibolehkan secara syar’i. Hendaklah ia tinggalkan ramalan-ramalan bintang yang termasuk perkara jahiliyah, jauhilah dan berhati-hatilah dengan bertanya pada tukang ramal atau membenarkan perkataan mereka. Lakukan hal ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dalam rangka menjaga agama dan akidah. (Dinukil dengan perubahan redaksi dari Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 2: 123) Syaikh Sholih Alu Syaikh -hafizhohullah- mengatakan, “Jika seseorang membaca halaman suatu koran yang berisi zodiak yang sesuai dengan tanggal kelahirannya atau zodiak yang ia cocoki, maka ini layaknya seperti mendatangi dukun. Akibatnya cuma sekedar membaca semacam ini adalah tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari. Sedangkan apabila seseorang sampai membenarkan ramalan dalam zodiak tersebut, maka ia berarti telah kufur terhadap Al Qur’an yang telah diturunkan pada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat At Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid oleh Syaikh Sholih Alu Syaikh pada Bab “Maa Jaa-a fii Tanjim”, hal. 349) Intinya, ada dua rincian hukum dalam masalah ini. Pertama: Apabila cuma sekedar membaca zodiak atau ramalan bintang, walaupun tidak mempercayai ramalan tersebut atau tidak membenarkannya, maka itu tetap haram. Akibat perbuatan ini, shalatnya tidak diterima selama 40 hari. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَىْءٍ لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلاَةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, maka shalatnya selama 40 hari tidak diterima.” (HR. Muslim no. 2230). Ini akibat dari cuma sekedar membaca. Maksud tidak diterima shalatnya selama 40 hari dijelaskan oleh An Nawawi: “Adapun maksud tidak diterima shalatnya adalah orang tersebut tidak mendapatkan pahala. Namun shalat yang ia lakukan tetap dianggap dapat menggugurkan kewajiban shalatnya dan ia tidak butuh untuk mengulangi shalatnya.” (Syarh Muslim, 14: 227) Kedua: Apabila sampai membenarkan atau meyakini ramalan tersebut, maka dianggap telah mengkufuri Al Qur’an yang menyatakan hanya di sisi Allah pengetahuan ilmu ghoib. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ “Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah kufur pada Al Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR. Ahmad no. 9532, hasan) Namun jika seseorang membaca ramalan tadi untuk membantah dan membongkar kedustaannya, semacam ini termasuk yang diperintahkan bahkan dapat dinilai wajib. (Al Qoulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 1: 330) Syaikh Sholih Alu Syaikh memberi nasehat, “Kita wajib mengingkari setiap orang yang membaca ramalan bintang semacam itu dan kita nasehati agar jangan ia sampai terjerumus dalam dosa. Hendaklah kita melarangnya untuk memasukkan majalah-majalah yang berisi ramalan bintang ke dalam rumah karena ini sama saja memasukkan tukang ramal ke dalam rumah. Perbuatan semacam ini termasuk dosa besar (al kabair) –wal ‘iyadzu billah-. … Oleh karena itu, wajib bagi setiap penuntut ilmu agar mengingatkan manusia mengenai akibat negatif membaca ramalan bintang. Hendaklah ia menyampaikannya dalam setiap perkataannya, ketika selesai shalat lima waktu, dan dalam khutbah jum’at. Karena ini adalah bencana bagi umat. Namun masih sangat sedikit yang mengingkari dan memberi peringatan terhadap kekeliruan semacam ini.” (Lihat At Tamhid Lisyarh Kitabit Tauhid, hal. 349) Dari sini, sudah sepatutnya seorang muslim tidak menyibukkan dirinya dengan membaca ramalan-ramalan bintang melalui majalah, koran, televisi atau lewat pesan singkat via sms. Begitu pula tidak perlu seseorang menyibukkan dirinya ketika berada di dunia maya untuk mengikuti berbagai ramalan-ramalan bintang yang ada. Karena walaupun tidak sampai percaya pada ramalan tersebut, tetap seseorang bisa terkena dosa jika ia bukan bermaksud untuk membantah ramalan tadi. Semoga Allah melindungi kita dan anak-anak kita dari kerusakan semacam ini. Nasehat Ramalan bukan hanya datang dari tukang ramal dengan bertanya langsung, namun saat ini bisa masuk ke rumah-rumah kaum muslimin dengan begitu mudah, baik lewat media cetak, TV, atau pun internet. Kita berlindung kepada Allah semoga diri kita, anak-anak kita, kerabat-kerabat kita terbebas dari membaca dan mempercayai ramalan bintang, serta dijauhi segala bentuk perbuatan syirik. Jadikanlah satu-satunya sandaran dalam segala urusan adalah Allah Ta’ala semata, وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ “Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya.” (QS. Ath Tholaq: 3). Al Qurtubi mengatakan, ”Barangsiapa menyerahkan urusannya sepenuhnya kepada Allah, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya.” (Al Jami’ Liahkamil Qur’an, 18: 161). Jika Allah jadi satu-satunya sandaran, maka rizki, jodoh, dan segala urusan akan dimudahkan oleh Allah Ta’ala. إِنْ أُرِ‌يدُ إِلَّا الْإِصْلَاحَ مَا اسْتَطَعْتُ وَمَا تَوْفِيقِي إِلَّا بِاللَّـهِ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَإِلَيْهِ أُنِيبُ “Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (QS. Hud: 88) Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. @ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 7 Shofar 1433 H — Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.muslim.or.id

Bulan Dzul Qo’dah

Asal Penamaan Secara bahasa, Dzul Qo’dah terdiri dari dua kata: Dzul, yang artinya: Sesuatu yang memiliki dan Al Qo’dah, yang artinya tempat yang diduduki. Bulan ini disebut Dzul Qo’dah, karena pada bulan ini, kebiasaan masyarakat arab duduk (tidak bepergian) di daerahnya dan tidak melakukan perjalanan atau peperangan. (Al Mu’jam Al Wasith, kata: Al Qo’dah). Bulan ini memiliki nama lain. Diantaranya, orang jahiliyah menyebut bulan ini dengan waranah. Ada juga orang arab yang menyebut bulan ini dengan nama: Al Hawa’. (Al Mu’jam Al Wasith, kata: Waranah atau Al Hawa’). Hadis Shahih Seputar Bulan Dzul Qa’dah Dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya zaman berputar sebagai mana ketika Allah menciptakan langit dan bumi. Satu tahun ada dua belas bulan. Diantaranya ada empat bulan haram (suci), tiga bulan berurutan: Dzul Qo’dah, Dzulhijjah, dan Muharram, kemudian bulan Rajab suku Mudhar, antara Jumadi Tsani dan Sya’ban.” (HR. Al Bukhari & Muslim) Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan umrah sebanyak empat kali, semuanya di bulan Dzul Qo’dah, kecuali umrah yang dilakukan bersama hajinya. Empat umrah itu adalah umrah Hudaibiyah di bulan Dzul Qo’dah, umrah tahun depan di bulan Dzul Qo’dah, …(HR. Al Bukhari) Masyarakat Jahiliyah dan Bulan Dzul Qo’dah Masyarakat arab sangat menghormati bulan-bulan haram, baik di masa jahiliyah maupun di masa islam, termasuk diantaranya bulan Dzul Qo’dah. Di zaman jahiliyah, bulan Dzul Qo’dah merupakan kesempatan untuk berdagang dan memamerkan syair-syair mereka. Mereka mengadakan pasar-pasar tertentu untuk menggelar pertunjukkan pamer syair, pamer kehormatan suku dan golongan, sambil berdagang di sekitar Mekkah, kemudian selanjutnya mereka melaksanakan ibadah haji. Bulan ini menjadi bulan aman bagi semuanya, satu sama lain tidak boleh saling mengganggu. (Khazanatul Adab, 2/272) Ada beberapa pasar yang mereka gelar di bulan Dzul Qo’dah, diantaranya adalah pasar Ukkadz. Letak pasar ini 10 mil dari Thaif ke arah Nakhlah. Pasar Ukkadz diadakan sejak hari pertama Dzul Qo’dah hingga hari kedua puluh. (Al Mu’jam Al Wasith, kata: Ukkadz) Setelah pasar Ukkadz selesai, mereka menggelar pasar Majinnah di tempat lain. Pasar ini digelar selama 10 hari setelah selesainya pasar Ukkadz. Setelah selesai berdagang dan pamer syair, selanjutnya mereka melaksanakan ibadah haji. (Al Aqdul Farid, 2/299) *** muslimah.or.id Penyusun: Ustadz Ammi Nur Baits

Hadits Palsu Huru Hara Akhir Zaman Di Hari Jum’at Pertengahan Ramadhan

Bismillah. Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi kita, Muhammad bin Abdullah shallallahu alaihi wasallam, keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang senantiasa berpegang teguh dengan ajarannya hingga hari kiamat. Akhir-akhir ini banyak sekali pertanyaan dari beberapa orang seputar derajat hadits huru-hara akhir zaman yang terjadi pada pertengahan bulan Ramadhan yang bertepatan dengan hari Jumat. Maka kami katakan, bahwa para ulama hadits terdahulu maupun yang hidup di zaman sekarang telah menerangkan dengan jelas dan gamblang bahwa hadits-hadits yang berbicara tentang masalah tersebut tidak ada satu pun yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, baik ditinjau dari segi sanad hadits maupun realita yang ada. Bahkan semuanya adalah hadits-hadits munkar dan palsu yang didustakan atas nama Nabi shallallahu alaihi wasallam. Berikut ini akan saya sebutkan teks (lafazh) hadits tersebut dengan sanadnya, serta studi kritis para ulama terhadapnya. قَالَ نُعَيْمٌ بْنُ حَمَّادٍ : حَدَّثَنَا أَبُو عُمَرَ عَنِ ابْنِ لَهِيعَةَ قَالَ : حَدَّثَنِي عَبْدُ الْوَهَّابِ بْنُ حُسَيْنٍ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ ثَابِتٍ الْبُنَانِيِّ عَنْ أَبِيهِ عَنِ الْحَارِثِ الْهَمْدَانِيِّ عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : “إذا كانَتْ صَيْحَةٌ في رمضان فإنه تكون مَعْمَعَةٌ في شوال، وتميز القبائل في ذي القعدة، وتُسْفَكُ الدِّماءُ في ذي الحجة والمحرم.. قال: قلنا: وما الصيحة يا سول الله؟ قال: هذه في النصف من رمضان ليلة الجمعة فتكون هدة توقظ النائم وتقعد القائم وتخرج العواتق من خدورهن في ليلة جمعة في سنة كثيرة الزلازل ، فإذا صَلَّيْتُمْ الفَجْرَ من يوم الجمعة فادخلوا بيوتكم، وأغلقوا أبوابكم، وسدوا كواكـم، ودَثِّرُوْا أَنْفُسَكُمْ، وَسُـدُّوْا آذَانَكُمْ إذا أَحْسَسْتُمْ بالصيحة فَخَرُّوْا للهِ سجدًا، وَقُوْلُوْا سُبْحَانَ اللهِ اْلقُدُّوْسِ، سُبْحَانَ اللهِ اْلقُدُّوْسِ ، ربنا القدوس فَمَنْ يَفْعَلُ ذَلك نَجَا، وَمَنْ لَمْ يَفْعَلْ ذَلِكَ هَلَكَ) Nu’aim bin Hammad berkata: “Telah menceritakan kepada kami Abu Umar, dari Ibnu Lahi’ah, ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Abdul Wahhab bin Husain, dari Muhammad bin Tsabit Al-Bunani, dari ayahnya, dari Al-Harits Al-Hamdani, dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu alaihi wasallam, beliau bersabda: “Bila telah muncul suara di bulan Ramadhan, maka akan terjadi huru-hara di bulan Syawal, kabilah-kabilah saling bermusuhan (perang antar suku, pent) di bulan Dzul Qa’dah, dan terjadi pertumpahan darah di bulan Dzul Hijjah dan Muharram…”. Kami bertanya: “Suara apakah, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Suara keras di pertengahan bulan Ramadhan, pada malam Jumat, akan muncul suara keras yang membangunkan orang tidur, menjadikan orang yang berdiri jatuh terduduk, para gadis keluar dari pingitannya, pada malam Jumat di tahun terjadinya banyak gempa. Jika kalian telah melaksanakan shalat Subuh pada hari Jumat, masuklah kalian ke dalam rumah kalian, tutuplah pintu-pintunya, sumbatlah lubang-lubangnya, dan selimutilah diri kalian, sumbatlah telinga kalian. Jika kalian merasakan adanya suara menggelegar, maka bersujudlah kalian kepada Allah dan ucapkanlah: “Mahasuci Allah Al-Quddus, Mahasuci Allah Al-Quddus, Rabb kami Al-Quddus”, kerana barangsiapa melakukan hal itu, niscaya ia akan selamat, tetapi barangsiapa yang tidak melakukan hal itu, niscaya akan binasa”. (Hadits ini diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad di dalam kitab Al-Fitan I/228, No.638, dan Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi di dalam kitab Kanzul ‘Ummal, No.39627). Derajat Hadits Hadits ini derajatnya palsu (maudhu’), karena di dalam sanadnya terdapat beberapa perawi hadits yang pendusta dan bermasalah sebagaimana diperbincangkan oleh para ulama hadits. Para perawi tersebut ialah sebagaimana berikut ini 1. Nu’aim bin Hammad Dia seorang perawi yang dha’if (lemah), An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang dha’if (lemah)” (Lihat Adh-Dhu’afa wa Al-Matrukin, karya An-Nasa’i I/101 no.589) Abu Daud berkata: “Nu’aim bin Hammad meriwayatkan dua puluh hadits dari Nabi shallallahu alaihi wasallam yang tidak mempunyai dasar sanad (sumber asli, pent).” Imam Al-Azdi mengatakan: “Dia termasuk orang yang memalsukan hadits dalam membela As-Sunnah, dan membuat kisah-kisah palsu tentang keburukan An-Nu’man (maksudnya, Abu Hanifah, pent), yang semuanya itu adalah kedustaan” (Lihat Mizan Al-I’tidal karya imam Adz-Dzahabi IV/267). Imam Adz-Dzahabi berkata tentangnya: “Tidak boleh bagi siapa pun berhujjah dengannya, dan ia telah menyusun kitab Al-Fitan, dan menyebutkan di dalamnya keanehan-keanehan dan kemungkaran-kemungkaran” (Lihat As-Siyar A’lam An-Nubala X/609). 2. Ibnu Lahi’ah (Abdullah bin Lahi’ah) Dia seorang perawi yang dha’if (lemah), karena mengalami kekacauan dalam hafalannya setelah kitab-kitab haditsnya terbakar. An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang dha’if (lemah)” (Lihat Adh-Dhu’afa wa Al-Matrukin, karya An-Nasa’i I/64 no.346) Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Dia mengalami kekacauan di dalam hafalannya setelah kitab-kitab haditsnya terbakar” (Lihat Taqrib At-Tahdzib I/319 no.3563). 3. Abdul Wahhab bin Husain Dia seorang perawi yang majhul (tidak dikenal). Al-Hakim berkata tentangnya: “Dia seorang perawi yang majhul (tidak jelas jati dirinya dan kredibilitasnya)” (Lihat Al-Mustadrak No. 8590) Imam Adz-Dzahabi berkata di dalam At-Talkhish: “Dia mempunyai riwayat hadits palsu.” (Lihat Lisan Al-Mizan, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani II/139). 4. Muhammad bin Tsabit Al-Bunani Dia seorang perawi yang dha’if (lemah dalam periwayatan hadits) sebagaimana dikatakan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani, Ibnu Hibban dan An-Nasa’i. An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia seorang yang dha’if (lemah)” Yahya bin Ma’in berkata: “Dia seorang perawi yang tidak ada apa-apanya”(Lihat Al-Kamil Fi Dhu’afa Ar-Rijal, karya Ibnu ‘Adi VI/136 no.1638). Ibnu Hibban berkata: “Tidak boleh berhujjah dengannya, dan tidak boleh pula meriwayatkan darinya” (Lihat Al-Majruhin, karya Ibnu Hibban II/252 no.928). Imam Al-Azdi berkata: “Dia seorang yang gugur riwayatnya” (Lihat Tahdzib At-Tahdzib, karya Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani IX/72 no.104) 5. Al-Harits bin Abdullah Al-A’war Al-Hamdani. Dia seorang perawi pendusta, sebagaimana dinyatakan oleh imam Asy-Sya’bi, Abu Hatim dan Ibnu Al-Madini. An-Nasa’i berkata tentangnya: “Dia bukan seorang perawi yang kuat (hafalannya, pent)” (Lihat Al-Kamil Fi Dhu’afa Ar-Rijal, karya Ibnu ‘Adi II/186 no.370). Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata tentangnya: “Imam Asy-Sya’bi telah mendustakan pendapat akalnya, dan dia juga dituduh menganut paham/madzhab Rafidhah (syi’ah), dan di dalam haditsnya terdapat suatu kelemahan” (Lihat Taqrib At-Tahdzib I/146 no.1029). Ali bin Al-Madini berkata: “Dia seorang pendusta” Abu Hatim Ar-Razi berkata: “Dia tidak dapat dijadikan hujjah.” (Siyar A’lam An-Nubala’, karya imam Adz-Dzahabi IV/152 no.54) Perkataan Para Ulama Tentang Hadits Ini Al-Uqaily rahimahullah berkata: “Hadits ini tidak memiliki dasar dari hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang tsiqah (terpercaya), atau dari jalan yang tsabit (kuat dan benar adanya).” (Lihat Adh-Dhu’afa Al-Kabir III/52). Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: “Hadits ini dipalsukan atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam” (Lihat Al-Maudhu’aat III/191). Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata: “Hadits ini palsu (maudhu’). Dikeluarkan oleh Nu’aim bin Hammad dalam kitab Al-Fitan.” Dan beliau menyebutkan beberapa riwayat dalam masalah ini dari Abu Hurairah dan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhuma. (Lihat Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah wa Al-Maudhu’ah no.6178, 6179). Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Hadits ini tidak mempunyai dasar yang benar, bahkan ini adalah hadits yang batil dan dusta” (Lihat Majmu’ Fatawa Bin Baz XXVI/339-341). Kesimpulan Dengan demikian, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa hadits ini adalah hadits maudhu’ (palsu). Tidak boleh diyakini sebagai kebenaran, dan tidak boleh dinisbatkan kepada Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam. Karena disamping sanad hadits ini tidak ada yg dapat diterima sebagai hujjah, juga realita telah mendustakannya. Sebab telah berlalu tahun-tahun yang banyak dan telah terjadi berulang kali hari Jum’at yang bertepatan dengan tanggal lima belas (pertengahan) bulan Ramadhan, namun kenyataannya tidak pernah terjadi sebagaimana berita yang terkandung di dalam hadits ini, Alhamdulillah. Oleh karena itu, kita dilarang keras menyebarluaskannya kepada orang lain baik melalui media cetak, maupun elektronik, atau dalam obrolan dan khutbah kecuali dalam rangka menjelaskan sisi kelemahan, kepalsuan, dan kebatilannya, serta bertujuan untuk memperingatkan umat darinya. Jika kita telah melakukan ini, berarti kita telah bebas dan selamat dari ancaman keras Nabi shallallahu alaihi wasallam, yaitu berupa masuk neraka bagi siapa saja yang sengaja berdusta atas nama beliau, baik dengan tujuan menjelekkan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan ajarannya, atau dalam rangka membela Nabi dan memotivasi kaum muslimin untuk bersemangat dalam beribadah kepada Allah. Demikian jawaban atas pertanyaan dalam masalah ini yang dapat saya sampaikan. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Telah selesai ditulis pada hari Rabu, 04 Januari 2012 di kediamannya, Klaten – Jawa Tengah. — Penulis: Ustadz Muhammad Wasitho Abu Fawwaz, Lc. Artikel http://abufawaz.wordpress.com dengan pengeditan seperlunya oleh redaksi muslim.or.id

Meneladani Bakti Ulama Pada Orangtuanya

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Wahai saudariku…yang semoga selalu dirahmati Allah, tahukah kalian bahwa perkara berbakti kepada kepada orangtua merupakan perkara yang mulia lagi agung. Dan sudah sepantasnya bagi saudariku yang senantiasa berpegang teguh dengan agama ini, untuk mengetahui serta memahami apa saja hak-hak orangtua yang seharusnya kita penuhi. Terlebih lagi jika kita telah mendapati kedua orangtua kita sudah dalam keadaan tua, tak punya daya dan tenaga sebagaimana ketika mereka masih muda. Ketahuilah, Allah Ta’ala telah memerintahkan kita untuk berbakti kepada orangtua serta tidak menyakiti perasaan mereka meski dengan ucapan, apalagi dengan perbuatan. Allah Ta’ala berfirman dalam ayat-Nya, وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا (23) وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا (24) “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ”Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya, karena mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (QS. Al-Israa’: 23-24). Imam Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan ayat ini, “… dalam ayat ini Allah menggandengkan antara ibadah kepada-Nya dengan perintah berbakti kepada kedua orangtua. Allah Ta’ala berfirman, “dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak..”, sebagaimana dalam ayat-Nya yang lain, “bersyukurlah kepada-Ku, dan kepada keduaorangtuamu, dan kepada-Kulah kamu kembali. “(QS. Luqman: 14). Dan Allah ta’ala berfirman, yang artinya: ”Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”, Yaitu, janganlah engkau mengucapkan perkataan yang buruk kepada keduanya, dan ucapan “ah” itu adalah ucapan yang mendekati perkataan buruk. “dan janganlah engkau membentak keduanya,” Yaitu, jangan sampai muncul perbuatan buruk darimu yang ditujukan kepada keduanya. Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Atha’ bin Abi Rabaah tentang ayat tersebut, yaitu “janganlah mengibaskan tanganmu kepada keduanya.” Tatkala Allah melarang seorang anak untuk berucap buruk ataupun berperilaku buruk , maka Allah memerintahkan anak untuk berkata yang baik dan berbuat yang baik. Allah ta’ala berfirman, yang artinya “dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik”, Yaitu, perkataan yang lembut, menyenangkan, bagus disertai dengan sopan santun, penghormatan dan pengagungan kepada keduanya. “Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang” Yaitu, rendahkanlah dirimu di hadapan keduanya dengan perilakumu. “dan ucapkanlah,’Wahai Tuhanku, sayangilah keduanya, karena mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.’” Yaitu mendoakan mereka ketika mereka telah tua renta, dan ketika mereka telah meninggal.” Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tentang Berbakti Kepada Orangtua Saudariku, mari kita perhatikan bagaimana seorang shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bernama ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Abdullah bin Mas’ud berkata, ‘Aku bertanya,“Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling utama?” Rasulullah menjawab,”Sholat tepat pada waktunya.” Aku bertanya, “Lalu apa lagi?” Beliau menjawab,”Berbakti kepada orangtua.” Kemudian aku bertanya lagi,”Lalu apa lagi?” Beliau berkata,”Berjihad di jalan Allah.”’ (HR. Bukhari dan Muslim) Pernah pula shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Seorang laki-laki pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Apakah aku pergi berjihad?” Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya,”Apa engkau masih memiliki ibu bapak?” Dia berkata,”Ya.” Beliau berkata,”Berjihadlah dengan berbakti kepada keduanya.” (HR. Bukhari dan Muslim) Dari hadits di atas, tahulah kita bahwa berbakti kepada orangtua merupakan amalan yang paling utama setelah sholat wajib yang dikerjakan tepat waktunya, serta merupakan amalan jihad yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Inilah Kisah Ulama’ serta Bakti Mereka kepada Orangtua Wahai saudraiku, kini kan kuhadirkan untukmu nukilan kisah para ulama serta amalan bakti mereka kepada orangtuanya. Merekalah orang yang berilmu, lagi paling mengetahui hak-hak yang besar yang dimiliki orangtua atas diri-diri mereka. Betapa mereka sangat perhatian dengan hal ini, karena bakti mereka kepada orangtua adalah pembuka jalan menuju surga. Semoga nukilan kisah ini kan menjadi cerminan, bagaimana seharusnya kita memperlakukan orangtua, sebagaimana yang dilakukan para ulama. 1. Iyas bin Mu’awiyyah Ketika ibu beliau meninggal, beliaupun menangis. Orang yang mengetahui hal itupun bertanya kepada beliau yang mungkin didorong rasa heran karena melihat seorang yang ‘alim di antara mereka tak mampu menahan airmatanya tatkala mendapati ibunya telah meninggal. “Mengapa Anda menangis?”. Maka Iyas bin Mu’awiyyah menjawab,”Dahulu aku memiliki dua pintu yang terbuka untuk menuju surga, namun kini salah satunya telah terkunci.” Wahai Saudariku, lihatlah betapa sedihnya salah seorang ulama kita ini ketika ibunya meninggal dunia. Lalu bagaimana kiranya dengan kita, adakah rasa sedih kehilangan pintu surga sebagaimana yang dirasakan Iyas bin Mu’awiyyah tatkala salah satu dari keduanya meninggal? Lalu tak lebih bersedihkah kita tatkala tak lagi mendapati dua pintu surga karena kedua orangtua kita telah tiada? 2. Abu Hanifah Sesungguhnya ibu dari Abu Hanifah pernah bersumpah dengan satu sumpah, kemudian dia melanggarnya. Maka sang ibu pun meminta fatwa kepada anaknya, Abu Hanifah. Namun ternyata ibunya merasa tidak mantap dengan fatwa yang diberikan anaknya. Ibunya berkata,”Aku tidak merasa ridha, kecuali dengan mendengar langsung fatwa dari Zur’ah Al-Qash!” Maka Abu Hanifah pun mengantar ibunya untuk meminta fatwa kepada Zur’ah. Namun Zur’ah Al-Qash mengatakan,”Wahai Ibu, engkau meminta fatwa kepadaku, sementara di depanku ada seorang yang paling alim di kota Kuffah?!” Abu Hanifah pun berkata dengan berbisik kepada Zur’ah, “Berilah fatwa kepadanya demikian dan demikian” (sebagaimana fatwa Abu Hanifah kepada ibunya), kemudian Zur’ahpun memberikan fatwa hingga ibu Abu Hanifah merasa ridha! Wahai saudariku, inilah sikap bakti Abu Hanifah kepada ibunya. Rasa cinta dan baktinya kepada sang ibu tidaklah membuatnya merasa gengsi tatkala sang ibu menginginkan fatwa dari orang lain yang tingkatan ilmunya justru lebih rendah dari Abu Hanifah. Dan lihatlah, beliau sama sekali tak merasa sombong dan angkuh di hadapan ibunya meski orang lain telah mengakui kefaqihannya dalam memahami ilmu syar’i. Dalam kisah yang lain, Abu Yusuf menyampaikan, “Aku menyaksikan Abu Hanifah rahimahullahu ta’ala menggendong ibunya naik ke atas keledai untuk menuju majelisnya ‘Umar bin Dzar, dikarenakan ia tak ingin menolak perintah ibunya.” Adapun yang dimaksud adalah Ibu Abu Hanifah menyuruh beliau untuk bertanya kepada ‘Umar bin Dzar tentang kepentingan ibunya. 3. Manshur bin Al-Mu’tamar Muhammad bin Bisyr Al-Aslami berkata,”Tidaklah didapati orang yang paling berbakti kepada ibunya di kota Kuffah ini selain Manshur bin Al-Mu’tamar dan Abu Hanifah. Adapun Manshur sering mencari kutu di kepala ibunya, dan menjalin rambut ibunya.” Wahai saudariku, perhatikanlah bakti Manshur kepada ibunya, yang menyempatkan dirinya untuk mencari kutu dan menjalin rambut sang ibu. Betapa amalan itu mungkin remeh di mata kita, namun begitu besar di mata Manshur. Bahkan perbuatannya tersebut tidaklah membuatnya merasa turun harga dirinya disebabkan beliau seorang laki-laki. Lalu bagaimana denganmu wahai saudariku, yang tentu engkau lebih layak untuk mengerjakannya karena engkau adalah seorang wanita? Tidakkah kau lihat rambut ibumu yang mulai kusut dan tak tertata karena tak mampu merawatnya, sementara engkau hanya diam terpaku membiarkannya begitu saja? 4. Haiwah bin Syarih Suatu hari Haiwah bin Syarih –beliau salah seorang imam kaum muslimin- duduk dalam majelis beliau untuk mengajarkan ilmu kepada manusia. Lalu ibunya berteriak memanggil beliau, “Berdirilah wahai Haiwah, beri makan ayam-ayam itu!” Lalu beliaupun berdiri dan meninggalkan majelisnya untuk memberi makan ayam. Kembali kita bercermin kepada Haiwah bin Syarih, panggilan ibunya untuk memberi makan ayam tidaklah membuat beliau malu dan merasa turun derajatnya di hadapan murid-murid beliau. Justru saat itulah beliau memberikan keteladanan yang besar kepada murid-muridnya akan kewajiban berbakti kepada orangtua dan lebih mendahulukan orangtua dibandingkan dengan orang lain. Bagaimana seandainya hal itu terjadi pada dirimu wahai saudariku? Akankah engkau bergegas untuk menyambut perintah orangtuamu? 5. Muhammad bin Al-Munkadir Muhammad bin Al-Munkadir pernah menceritakan, “’Umar (saudara beliau) menghabiskan malam dengan mengerjakan sholat malam, sedangkan aku menghabiskan malamku untuk memijat kaki ibuku. Dan aku tidaklah ingin malamku itu diganti dengan malamnya ‘Umar.” Melalui nukilan ini, Muhammad bin Al-Munkadir telah memberikan petuah secara tak langsung kepada kita, bahwa bakti kepada orangtua itu lebih besar pahalanya dari pada mengerjakan amalan sunnah. Bahkan meskipun amalan sunnah itu adalah sholat malam yang dilakukan semalam suntuk yang engkau pasti tahu sholat malam merupakan sholat sunnah yang paling utama. Oleh karena itu, tatkala orangtuamu menyuruhmu melakukan sesuatu yang tidak melanggar aturan syariat, sementara engkau dalam keadaan melakukan amalan sunnah, maka segera sambut mereka, dan batalkan amalan sunnah tersebut untuk sementara. 6. Imam Ibnu ‘Asakir Al-Imam Ibnu ‘Asakir pernah ditanya tentang sebab mengapa beliau terlambat dalam menuntut ilmu di Asbahan, maka beliau menjawab,”Ibuku tidak mengizinkanku.” 7. Imam Adz-Dzahabi Beliau pernah mengisahkan bahwa beliau membaca Al-Qur’an kepada Syaikhnya yang bernama Syaikh al-Fadhili. Kemudian beliau berkata,”Ketika guru kami (Al-Fadhili) meninggal, sementara aku belum selesai membaca Al-Qur’an dengannya, akupun merasa sedih. Kemudian ada orang yang menyampaikan kepadaku bahwa Abu Muhammad Al-Makin Al-Asmar yang tinggal di Iskandariyah memiliki sanad yang lebih tinggi daripada Al-Fadhili.” Imam Adz-Dzahabi berkata,”Maka semakin bertambahlah kesedihanku karena ayahku tidak mengizinkanku melakukan safar ke kota Iskandariyah. Adz-Dzahabi menyampaikan dalam biografi ‘Abdurrahman bin ‘Abdul Latif Al-Baghdadi, “Aku merasa sedih ketika bepergian kepadanya, tidaklah aku menyeberangi jembatan, karena khawatir dengan ayahku. Sesungguhnya dia telah melarangku.” Adz-Dzahabi pernah mengadakan perjalanan menuju salah seorang imam dan tinggal di tempat imam tersebut selama beberapa waktu, lalu beliau berkata,”Aku telah berjanji dan bersumpah kepada ayahku, bahwa aku tidak akan tinggal dalam perjalanan ini lebih dari 4 bulan, sehingga aku khawatir menjadi anak durhaka.” Lihatlah bagaimana sikap Imam Ibnu ‘Asakir dan Adz-Dzahabi yang begitu perhatian dengan izin dari orangtuanya. Begitu beratnya mereka untuk pergi, bahkan untuk menuntut ilmu sekalipun, ketika orangtuanya tak memberikan izin kepada mereka. Betapa takutnya mereka menjadi anak durhaka, hanya karena melanggar sedikit dari janji yang sudah disepakati dengan orangtuanya. Lalu, mari kita lihat keadaan di zaman ini. Betapa banyak kita dapati muslimah (kecuali mereka yang dirahmati Allah), pergi ke suatu tempat tanpa meminta izin dulu kepada orangtuanya. Berangkat tak pamit, pulang tak jelas jam berapa. Tidakkah mereka berpikir, betapa orangtuanya merasa gelisah kebingungan mencari anak gadisnya yang tak kunjung pulang? Wahai saudariku, apa lagi yang engkau tunggu? Segeralah berbuat baik kepada kedua orangtuamu. Karena apabila engkau mengerahkan seluruh tenaga untuk berbakti kepada mereka, niscaya itu tidak akan mampu menyaingi kebaikan mereka ketika mendidik dan merawatmu saat masih kecil. Bergegaslah untuk mengunjungi mereka andai engkau telah lama tak berjumpa. .. Bergegaslah untuk menelepon mereka andai lama engkau tak mendengar kabarnya… Mintalah mereka untuk menghabiskan masa tuanya bersamamu… Rawatlah mereka dengan penuh ketulusan. Bersihkan kotoran yang melekat pada badan dan pakaian mereka dengan keikhlasan andai mereka telah renta… Tatalah ruangan mereka, beri pencahayaan yang cukup, dan perhatikanlah kebersihan ruangannya. Ciumlah kening mereka dengan penuh ketulusan dan harapkanlah pahala dari Allah atas segala baktimu. Perlakukan mereka sebagaimana hamba memuliakan raja dan ratu… Janganlah sampai kau perlakukan mereka layaknya seorang pembantu yang bisa kau suruh untuk menbantu pekerjaan rumah tanggamu. Na’udzubillahi min dzalik. Dakwahi dengan kelembutan serta akhlak yang baik andai mereka belum mendapatkan hidayah-Nya. Segeralah meminta maaf andai engkau pernah mengucapkan kata-kata dan berlaku kasar yang membuat mereka tak ridha. Saudariku, mungkin engkau tak akan lama lagi melihat wajah mereka. Lihatlah kulit-kulit mereka yang mulai kisut… Kening-kening mereka yang mulai mengerut… Raga yang tak lagi kuat dan sebentar lagi kan menantang maut.. Adakah engkau telah membuat mereka bahagia? Sudahkah engkau melukiskan tawa di bibir mereka? Atau justru engkau telah membuat mereka menangis karena tingkahmu yang tak menyenangkan mereka?? Wahai saudariku, lekaslah redakan tangis mereka. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menasehatkan hal demikian kepada salah seorang yang datang kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, “Seseorang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Aku akan berbai’at kepadamu untuk berhijrah, dan aku tinggalkan kedua orangtuaku dalam keadaan menangis.” Rasulullah shallallahu a’laihi wasallam bersabda,”Kembalilah kepada kedua orangtuamu dan buatlah keduanya tertawa sebagaimana engkau telah membuat keduanya menangis..” (HR. Imam Abu Dawud dan An-Nasa-i) Ya Robbi, ampunilah dosaku dan ampunilah dosa kedua orangtuaku, sayangilah keduanya, karena mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil. Semoga kita dimudahkan untuk mempersembahkan bakti kepada kedua orangtua, sebagaimana bakti para ulama pada orangtuanya.. Aamiin.. Di Penghujung Rindu kepada Ayah dan Ibu, Yogyakarta, 11 Dzulqo’idah 1432 H. *** Penulis: Nunung Wulandari Muroja’ah: Ust. Ammi Baits Artikel Muslimah.or.id Maraji’:

Larangan Jual Beli Saat Shalat Jum’at

Bergaul Dengan Tetangga

Bismillah, washalatu wa ssalaamu ‘ala Rasulillah wa man tabi’ahu biihsan ila yaumiddin. Amma ba’du, Saudariku, semoga Allah merahmatimu. Manusia adalah makhluk sosial, kita tentu setuju dengan pernyataan ini. Kita dikelilingi oleh orang lain dimana kita juga membutuhkan mereka sesuai dengan peranannya masing-masing. Ada orang tua, saudara, tetangga, teman, maupun orang-orang yang jasanya biasa kita butuhkan seperti guru, penjual, pembeli, supir angkot, pak tukang dan lain-lain. Karena itu, bermuamalah antar sesama manusia merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan kita. Agama yang mulia ini pun sudah mengatur bagaimana tata cara bermuamalah antar sesama. Dalam tulisan berikut kita khususkan pembahasan tentang bagaimana bermuamalah atau bergaul dengan tetangga. Mari kita simak petuah dan contoh nyata manusia yang paling mulia di muka bumi ini, Nabi Muhammad ‘Alaihi Shalaatu wassalaam dalam bergaul dengan tetanga. Semoga bermanfaat bagi kita semua. Anjuran memuliakan tetangga. Berikut diantara dalil-dalil yang menganjurkan untuk memuliakan tetangga : Dari Aisyah Radhiallahu ‘anha, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda : ما زال جبريل يوصيني بالجار حتى ظننت أنه سيورثه “ Malaikat Jibril senantiasa berwasiat kepadaku agar memperhatikan tetangga sehingga aku mengira bahwa dia mendapatkan warisan.” (HR. Bukhori 5555) Dari Suroih Al-Adawi Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ جَارَهُ “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari pembalasan maka muliakan tetangganya.” (HR. Bukhori 5560 ) Jadilah engkau tetangga yang baik! Seorang muslim haruslah berusaha menjadi tetangga yang baik. Janganlah seorang muslim malah menjadi ancaman bagi tetangganya, baik tetangganya tersebut muslim ataupun kafir, kaya ataupun miskin, tua atau pun muda, sesuku ataupun berbeda suku. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda : لا يدخل الجنة من لا يأمن جاره بوائقه “Tidak masuk surga orang yang apabila tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya.” (HR. Bukhori 66) Wahai saudariku, penuhilah hak-hak tetanggamu dan berbuat baiklah kepada mereka ! Jika tetanggamu yang muslim merupakan kerabatmu maka penuhilah haknya sebagai kerabat, hak sesama mulim, dan hak sebagai tetangga. Jila tetanggamu seorang muslim maka penuhilah haknya senagai sesama muslim dan hak sebagai tetanga. Jika tetanggamu adalah orang kafir maka penuhi haknya sebagai tetangga. Ketahuilah saudariku, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda : وخير الجيران عند الله خيرهم لجاره “ …dan sebaik baik tetangga disisi Allah ialah orang yang paling baik kepada tetangganya.” (HR. Tirmidzi 1867 dishahihkan al-Albani Silsilah Shohihah 1/211) Bagaimana seharusnya bergaul dengan tetangga? Tetangga yang baik hendaknya menjaga kehormatandan harta tetangganya. Imam Ahmad meriwayatkan dari al-Miqdad bin al-aswad radhiallahu ‘anhu, ia mengatakn bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda kepada para sahabatnya: “Apa pendapat kalian tentang zina?” Para sahabat menjawab : “Perbuatan terlarang yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan hal itu akan tetap haram hingga hari kiamat.” Beliau Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda : لأن يزني الرجل بعشرة نسوة أيسر عليه من أن يزني بامرأة جاره “Seorang yang berzina dengan sepuluh orang wanita lebih ringan dosanya daripada ia berzina dengan istri tetangganya.” Lalu beliau bertanya : “Apa pendapat kalian tentang mencuri?” Mereka menjawab:” Perbuatan yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan akan tetap haram hingga hari kiamat.” Beliau bersabda: لأن يسرق الرجل من عشرة أبيات أيسر عليه من أن يسرق من جاره “Seseorang yang mencuri disepuluh rumah,lebih ringan dosanya dari pada mencuri dirumah tetangganya.” ( HR. Imam ahmad 23905) Tetangga yang baik hendaknya memenuhi hak-hak tetangganya yang muslim. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda : حق المسلم على المسلم ست : إذا لقيته فسلم عليه وإذا دعاك فأجبه وإذا استنصحك فانصح له وإذا عطس فحمد الله فسمته وإذا مرض فعده وإذا مات فاتبعه “Hak muslim terhadap muslim yang lain ada enam, apabila engkau bertemu dengannya hendaklah engkau mengucapkan salam kepadanya, apabila dia mengundangmu maka penuhi undangannya, apabila ia meminta nasehat kepadamu maka berilah nasihat kepadanya, apabila ia bersin kemudian dia memuji Allah makadoakan dia dengan mengucapkan “ yarhakumullah”, apabila dia sakit maka jenguklah, apabila dia meningggal maka iringi jenazahnya.” (HR. Muslim, 2162) Menutupi aib tetangganya. Dari Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda : من ستر مسلما ستره الله في الدنيا والآخرة Menjauhkan perkara yang dapat menggangu ketenangan saudaranya. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda : مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يُؤْذِى جَارَهُ “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari Pembalasan maka jangan mengganggu tetangganya.” (HR. Bukhori, 5559 ) Membalas kejelekan dengan kebaikan. وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ “… serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapatkan tempat kesudahan (yang baik).” ( QS. Al-Ro’du : 13 :22 ) Memberi makanan pada tetangga terutama kepada yang miskin. Dari Abu Dzar Radhiallahu ‘anhu sesungguhnya kholilku Shalallahu ‘alaihi waSalam berwasiat kepadaku; إذا طبخت مرقا فأكثر ماءه ثم انظر أهل بيت من جيرانك فأصبهم منها بمعروف “Apabila kamu memasak kuah, maka perbanyak airnya, lalu lihatlah keluarga rumah tetangamu, lalu berilah mereka sewajarnya.” (HR. Muslim : 4759 ) Dari Umar Radhiallahu ‘anhu Rasulullah Shalallahu ‘alaihi waSalam bersabda : لا يشبع الرجل دون جاره “Tidak boleh kenyang seseorang sedangkan tetangganya kelaparan.” (HR. Imam Ahmad 367. Semua rawinya kuat. Liht Musnad Umar bin Khotthob yang terakhir ) Jika tetangga kafir, berbuat baik dilakukan dengan cara memberi hadiah, menjenguknya bila sakit, menasehatinya, mengajaknya agar masuk islam dan menunaikan haknya yang lain. Jika tetangga ahli bid’ah dengan tidak mendatangi undangannya yang bid’ah, tidak membantu kebid’ahannya, menasehati dengan baik, menyeru agar kembali kepada Sunnah dan menunaikan hak tetangga yang lainnya. Semoga Allah selalu memberikan taufiq kepada kita untuk menjadi tetangga yang baik dan memberikan kepada kita tetangga yang baik. Wa Shalallahu ‘ala nabinaa Muhammad walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin….. *** artikel muslimah.or.id Penulis: Ismianti Ummu Maryam Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits

JIKA HARGA BARANG MENINGGI (HUKUM PENETAPAN HARGA OLEH PIHAK YANG BERWENANG)

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: عن أنس رضي الله عنه قال: غلا السعر في المدينة على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال الناس: يا رسول الله غلا السعر، فسعر لنا، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "إنّ الله هو المسعر القابض، الباسط، الرازق، وإني لأرجو أن ألقى الله وليس أحد منكم يطلبني بمظلمة في دم ولا مال "، رواه الخمسة إلا النسائي وصححه ابن حبان. ”Harga barang dagangan pernah melambung tinggi di Madinah pada zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, lalu orang-orang pun berkata:”Wahai Rasulullah, harga barang melambung, maka tetapkanlah standar harga untuk kami.” Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:”Sesungguhnya Allah lah al-Musa’ir (Yang Maha Menetapkan harga), al-Qabidh, al-Basith, dan ar-Raziq. Dan sungguh aku benar-benar berharap berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutku dengan kezhaliman dalam masalah darah (nyawa) dan harta” (HR. al-Khomsah kecuali an-Nasa’i dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban) Hadits ini shahih sesuai syarat Muslim,sebagaimana pernyataan al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam at-Talkhish:”” Biografi Singkat Shahabat Yang Meriwayatkan Hadits Beliau adalah pelayann Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, Anas bin Malik bin an-Nadhr al-Anshari al-Khazraji radhiyallahu 'anhu. Ibunya adalah Ummu Sulaim bintu Milhan radhiyallahu 'anha. Ibunya membawanya kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam di saat kedatangan hijrah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ke kota Madinah ketika ia (Anas) berusia sepuluh tahun. Ia (ibu Anas) berkata:”Wahai Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ini Anas seorang anak muda yang akan melayanimu.” Lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menerimanya dan memberikan nama kunyah kepadanya ”Abu Hamzah”. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam seringkali bergurau dan bercanda dengannya dengan ucapan beliau:”Wahai pemilik dua telinga.”. Ia tetap menjadi pelayan Nabi selama tujuh tahun, dan ia mendapatkan manfaat dengan bergaul dengan Nabi dan mendapatkan manfaat pula dari do’a Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "اللهم أكثر ماله وولده، وبارك له فيما أعطيته" ”Ya Allah perbanyaklah hartanya dan anak-anaknya, dan berikanlah keberkahan kepadanya pada apa-apa yang engkau karuniakan.” (HR. Al-Bukhari dalam kitab ad-Dawa’at, Muslim dalam kitab Fadha’il ash-Shahabat dan at-Tirmidzi dalam kitab al-Manaqib) Peristiwa-peristiwa yang pernah ia alami bersama Nabi shallallahu 'alaihi wasallam adalah perjanjian Hudaibiyyah dan umrahnya, haji Nabi, Fathu Makah, perang Hunain, dan perang Thaif. Saat kepemimpinan Abu Bakar radhiyallahu 'anhu, beliau mengutus Anas bin Malik ke Bahrain untuk mengambil (mengurusi) zakat. Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu wafat tahun 93 H (711 H) di Bashrah, dan beliau adalah Shahabat yang terakhir meninggal disana. Beliau berusia 103 tahun. Dan beliau adalah salah satu shahabat yang banyak meriwayatkan hadits Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau memiliki 2286 riwayat hadits (al-Ba’its al-Hatsits karya Ibnu Katsir rahimahullah) Kosakata Hadits السعر, harga التسعيرsecara bahasa adalah penetapan, penentuan. Dan secara istilah adalah perintah dari pihak yang memiliki wewenang/kekuasaan terhadap urusan kaum Muslimin untuk menetapkan harga tertentu terhadap suatu barang yang akan dijual, yang mana tidak menzhalimi (merugikan) pemilik barang (penjual) dan memberatkan pembeli. المسعّر, Dia lah satu-satunya Dzat yang menetapkan harga dengan kehendak-Nya Subhanahu wa Ta'ala. القابض, Yang menyempitkan rizqi. الباسط, Yang meluaskan dan melapangkan rizqi. Islam memberikan kebebasan kepada setiap individu untuk melakukan aktivitas pasar, mereka bebas melakukan jual beli barang-barang mereka tanpa ada kezhaliman dari mereka, dengan cara apapun sekehendak mereka sesuai dengan teori penawaran dan permintaan. Maka jika harga barang naik disebabkan karena sedikitnya barang atau banyaknya permintaan, maka hal ini diserahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, Dia lah yang meluaskan dan menyempitkan rizqi dengan kehendak-Nya, dan Dia juga yang menaikkan dan menurunkan harga sesuai keinginan-Nya. Naiknya atau mahalnya harga barang terjadi karena sedikitnya barang (di pasaran), atau sebagaimana yang dikatakan banyaknya permintaan sedikitnya penawaran (persediaan) barang sehingga terjadi perebutan barang dagangan, maka terjadilah kenaikan harga. Dan naiknya harga bisa disebabkan karena sedikitnya persediaan barang di pasaran, atau karena rakusnya sebagian masyarakat untuk mengumpulkan (menimbun) barang dan menjualnya di kemudian hari. Mereka memborong semua barang di pasar, lalu mereka menimbunnya sehingga menjadi sedikitlah barang di pasaran dan otomatis harga barang pun naik. Itulah yang menjadikan harga barang naik. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menjadikan campur tangan di dalam kebebasan individu tanpa ada kebutuhan yang sangat mendesak sebagai sebuah bentuk kezhaliman, dan bahwasanya mengharuskan mereka (para penjual) untuk menjual barangnya dengan harga tertentu termasuk bentuk pemaksaan tanpa alasan yang dibenarkan. Dan bahwasanya melarang mereka dari apa-apa yang dibolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah hal yang diharamkan. Oleh sebab itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyukai untuk bertemu Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam keaaan terbebas dari tanggung jawab ini, dan untuk jauh darinya. Faidah Hadits 1. Hadits tersebut merupakan dalil bahwa المسعِّر (al-Musa’ir) adalah salah satu nama dari nama-nama Allah yang Mulia, dan bahwasanya nama-nama Allah tidak terbatas pada sembilan puluh sembilan nama. Telah diriwayatkan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau berdo’a: ”Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh nama-Mu yang Engkau menamakan diri dengannya, baik yang Engkau turunkan di dalam kitab-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah seorang dari makhluk-Mu, ataupun yang Engkau sembunyikan untuk-Mu sendiri dalam ilmu ghaib di sisi-Mu…”(HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/509, dan Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id 10/136) 2. Hadits tersebut memberikan faidah kepada kita bahwa haramnya Tas’ir (penetapan harga dari pihak penguasa/pemerintah) dikarenakan ia adalah sebuah kezhaliman. Dan kezhaliman adalah sesuatu yang haram, Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengaharamkan kezhaliman terhadap diri-Nya dan juga terhadap para hamba-Nya di dalam banyak ayat dan hadits. Di antaranya adalah hadits Nabi yang beliau riwayatkan dari Allah Subhanahu wa Ta'ala (atau yang dikenal dengan hadits Qudsi: " يا عبادي إني حرمت الظلم على نفسي وجعلته بينكم محرما فلا تظالموا ”Wahai hamba-hamba-Ku sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman terhadap diriku, dan Aku menjadikannya haram bagi kalian. Maka janganlah kalian saling berbuat kezhaliman.”(HR. Muslim dalam Shahih Muslim (16/132) Kitab al-Birru wash Shilah wal Adab) 3. Nampak jelas bahwa alasan diharamkannya Tas’ir (menurut pendapat yang mengatakan bahwa Tas’ir haram) adalah pada pemaksaan penjual untuk menjual barangya tanpa ke-ridha-annya. Dan hal itu (menjual barang tanpa ke-ridha-an/kerelaan) bertentangan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala: يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لاَتَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ … {29} ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan jual beli atas suka sama suka diantara kalian…”(QS. An-Nisaa’: 29) 4. Zhahir hadits (makna yang nampak secara sekilas dari hadits) menyatakan bahwa Tas’ir hukumnya haram dalam segala macam keadaan, tanpa membedakan apakah barang tersebut adalah barang yang didatangkan dari luar (import) atau barang lokal. Dan juga tidak ada beda apakah Tas’ir itu dilakukan ketika kondisi harga murah atau ketika harga sedang mahal. Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa boleh melakukan Tas’ir dalam kondisi mahalnya harga barang. Namun pendapat ini tertolak karena bertentangan dengan Zhahir hadits di atas yang mana Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menolak melakukan Tas’ir dalam keadaan mahalnya harga barang. 5. Zhahir hadits (makna yang nampak secara sekilas dari hadits) juga tidak membedakan dalam larangan Tas’ir apakah barang tersebut adalah makanan pokok manusia, atau makann binatang ataupun yang lainnya seperti lauk pauk, dan barang-barang lain. Dan ini adalah pendapat Jumhur Ulama. Namun sejumlah ulama kontemporer dari para imam Zaidiyyah membolehkan Tas’ir pada selain makanan pokok manusia dan binatang (lihat Nailul Authar). Dan tidak samar lagi bahwa pengkhususan seperti ini membutuhkan dalil (dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya). 6. Bahwasanya Tas’ir adalah bentuk boikot terhadap kebebasan individu dan pengekangan terhadap kebebasan membelanjakan harta. 7. Hadits ini menunjukkan bahwa harga paten untuk suatu barang tidak ada/tidak dikenal di masyarakat di zaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, oleh sebab itu mereka (para Shahabat) meminta agar beliau menetapkan harga, namun beliau tidak memenuhi keinginan mereka. 8. Bisa dipahami dari hadits di atas bahwa boleh menjual barang dengan harga lebih murah dari harga pasaran. Diriwayatkan dari imam Malik rahimahullah, bahwa beliau berkata:” Hendaknya hakim (pemimpin/pemerintah) mengharuskan orang tersebut (yang menjual dengan harga di bawah harga pasar) untuk menjual barang sesuai dengan harga pasaran.”. Beliau rahimahullah berdalil dengan kejadian yang terjadi antara ‘Umar bin al-Khaththab radhiyallahu 'anhu dengan Ibnu Abi Balta’ah radhiyallahu 'anhu. 9. Hadits ini berisi peringatan dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada ummatnya agar mereka tidak melakukan kezhaliman (mengambil sesuatu dari pemiliknya tanpa alasan yang dibenarkan), baik dalam masalah darah (nyawa) maupun harta. Oleh sebab itu beliau shallallahu 'alaihi wasallam ingin bertemu Allah Subhanahu wa Ta'ala (di hari Kiamat kelak) dalam keadaan terbebas dari hal-hal tersebut. Sikap Para Ulama Terhadap Hadits Ini Para ulama memiliki pendapat yang beraneka ragam dalam menyikapi hadits ini, namun secara global pendapat-pendapat tersebut bisa dikelompokkan menjadi beberapa pendapat: Pendapat Jumhur Ulama: Mereka (sebagian ulama madzhab Hanafiyyah, Imam Malik dan sependapat dengan beliau dari kalangan pengikutnya, dan ia juga salah satu pendapat dalam madzhab Imam Syafi’i, dan ia juga pendapat yang masyhur di kalangan madzhab Hanbali) berpendapat bahwa Tas’ir haram secara mutlak (tanpa kecuali). (al-Muhadzdzab, al-Muntaqa, al-Mughni, syarh al-Minhaj, al-Umm dan Subulus Salam) Sebuah Riwayat Dari Imam Malik rahimahullah membolehkan Tas’ir secara mutlak, maksudnya adalah hakim berhak memaksa penjual untuk menjual barangnya sesuai dengan harga pasar, baik dalam kondisi barang melimpah ataupun sedikit. Ibnu Taimiah dan Ibnul Qoyyim rahimahumallah memperinci masalah ini, yang mana keduanya menyatakan bahwa Tas’ir diharamkan dalam keadaan menzhalimi dan diperbolehkan atau bahkan diwajibkan dalam keadaan untuk keadilan. (Dan ini adalah pendapat yang rajih sebagaimana akan datang pejelasannya) Dan mirip dengan pendapat ini pendapat sebagian ulama madzhab Hanafiyyah, yang mana mereka membolehkan Tas’ir jika para pemilik/penjual makanan menaikkan harga di atas batas kewajaran (Syarh Kanzu ad-Daqa’iq). Bersambung Insyaa Allah… (Sumber:حكم التسعير Syaikh Abdul Mu’izz Muhammad Farkus hafizhahullah di http://www.ferkous.com/rep/C5.php. Diterjemahkan dan diposting oleh Abu Yusuf Sujono)

Hukum Menyebutkan Nama Jenazah Ketika Hendak Di Sholatkan

PERTANYAAN: Ada sebagian orang, apabila di bawa jenazah untuk di shalatkan, dia menyebut nama jenazah. Apakah ada dalilnya? Umpama Ia berkata, "Ini fulan bin fulan, Ash-shalatu Ala fulan bin fulan?" JAWABAN: Memberitahukan kepada orang banyak tentang jenazah, apabila dibawa, bahwa dia seorang laki-laki atau perempuan karena untuk mendoakan dengan dhamir (kata ganti) laki-laki jika dia seorang laki-laki, atau dengan dhamir (kata ganti) perempuan jika dia seorang perempuan. Atau apabila ada jenazah baligh, atau anak kecil yang belum balgih, maka diberitahukan kepada orang banyak agar mendoakan masing-masing dengan yang sesuai. Ini tidak apa-apa karena adanya maslahat padanya. Adapun mengabarkan tentang namanya, maka saya tidak tahu, saya tawaqquf (tidak berfatwa) dalam masalah ini. Mungkin ada maslahat padanya dan mungkin pula tidak ada maslahat. Umpamanya, terkadang di antara yang hadir ada permusuhan masa lalu antara dirinya dengan jenazah tertentu umpamanya, lalu ia berpaling dari shalat (tidak ikut shalat jenazah) seraya berkata, "Saya tidak mau shalat terhadap laki-laki ini." Hal ini merupakan gangguan, atau dia tetap shalat atasnya dan sebagai pengganti berdoa untuknya, ia berdoa (kebinasaan) atasnya, jika tidak disebutkan namanya, niscaya lebih baik. Sumber: Fatwa-fatwa Lengkap Seputar Jenazah [Edisi Indonesia], Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Disusun oleh Syaikh Fahd bin Nashir as-Sulaiman, Pustaka Darul Haq Jkt.

Syarat Sah Shalat Jum’at

Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Shalat Jum’at sudah kita ketahui bersama adalah suatu kewajiban. يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah ...” (QS. Al Jumu’ah: 9) Shalat ini diwajibkan bagi: (1) orang yang mukim (bukan musafir), (2) pria, (3) sehat, (4) merdeka dan (5) selamat dari lumpuh (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27: 198-199). Pelaksanaan shalat Jum’at bisa menjadi sah jika memenuhi syarat-syarat berikut ini: Pertama: Adanya khutbah Khutbah jum’at mesti dengan dua kali khutbah karena kebiasaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam demikian adanya. Ini adalah pendapat mayoritas ulama, yaitu ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambali. Ulama Syafi’iyah menambahkan bahwa khutbah Jum’at bisa sah jika memenuhi lima syarat: Ucapan puji syukur pada Allah Shalawat kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam Wasiat takwa [tiga syarat pertama merupakan syarat dalam dua khutbah sekaligus] Membaca satu dari ayat Al Qur’an pada salah satu dari dua khutbah Do’a kepada kaum muslimin di khutbah kedua Namun sebenarnya khutbah yang dituntunkan adalah yang sesuai petunuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di dalamnya berisi nasehat motivasi dan menjelaskan ancaman-ancaman terhadap suatu maksiat. Inilah hakekat khutbah. Jadi syarat di atas bukanlah syarat yang melazimkan (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 583) Kedua: Harus dilakukan dengan berjama’ah Dipersyaratkan demikian karena shalat Jum’at bermakna banyak orang (jama’ah). Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu menunaikan shalat ini secara berjama’ah, bahkan hal ini menjadi ijma’ (kata sepakat) para ulama. Ulama Syafi’iyah dan Hambali memberi syarat 40 orang bisa disebut jama’ah Jum’at. Akan tetapi, menyatakan demikian harus ada dalil pendukung. Kenyataannya tidak ada dalil –sejauh yang kami ketahui- yang mendukung syarat ini. Sehingga syarat disebut jama’ah jum’at adalah seperti halnya jama’ah shalat lainnya, yaitu satu orang jama’ah dan satu orang imam (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1: 593). Yang menyaratkan shalat Jum’at bisa dengan hanya seorang makmum dan seorang imam adalah ulama Hanafiyah (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27: 202). Ketiga: Mendapat izin khalayak ramai yang menyebabkan shalat jum’at masyhur atau tersiar. Sehinga jika ada seorang yang shalat di benteng atau istananya, ia menutup pintu-pintunya dan melaksanakan shalat bersama anak buahnya, maka shalat Jum’atnya tidak sah. Dalil dari hal ini adalah karena diperintahkan adanya panggilan untuk shalat Jum’at sebagaimana dalam ayat, يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ “Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah ...” (QS. Al Jumu’ah: 9) Panggilan ini menunjukkan shalat Jum’at harus tersiar, tidak sembunyi-sembunyi meskipun dengan berjama’ah. Keempat: Jama’ah shalat Jum’at tidak lebih dari satu di satu negeri (kampung) Karena hikmah disyariatkan shalat Jum’at adalah agar kaum muslimin berkumpul dan saling berjumpa. Hal ini sulit tercapai jika beberapa jama’ah shalat Jum’at di suatu negeri tanpa ada hajat. Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad dan pendapat masyhur di kalangan madzhab Imam Malik, menyatakan bahwa terlarang berbilangnya jamaah shalat jumat di suatu negeri (kampung) besar atau kecil kecuali jika ada hajat. Namun para ulama berselisih pendapat tentang batasan negeri tersebut. Ada ulama yang menyatakan batasannya adalah jika suatu negeri terpisah oleh sungai, atau negeri tersebut merupakan negeri yang besar sehingga sulit membuat satu jamaah jum’at. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala aalihi wa shohbihi wa sallam. Walhamdulillahi Robbil ‘alamin. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad. [Disarikan dari Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 27: 201-204] @ Ummul Hamam (Riyadh-KSA), di waktu penuh barokah, 12 Shofar 1433 H — Penulis: Muhammad Abdul Tuasikal, ST. Artikel Muslim.Or.Id

Membalas Salam Non Muslim

Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Bagaimanakah hukum membalas salam orang kafir (ahli kitab maupun non muslim lainnya)? Dan bolehkah memulai mengucapkan salam pada mereka? Ada pula hadits yang menyebutkan bahwa jika kita berjumpa orang kafir, maka pepetlah mereka ke pinggir. Bagaimana penjelasan hal ini? Thoyyib, ada sebuah riwayat yang menjelaskan masalah di atas. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, لاَ تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَلاَ النَّصَارَى بِالسَّلاَمِ فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ “Jangan kalian mengawali mengucapkan salam kepada Yahudi dan Nashrani. Jika kalian berjumpa salah seorang di antara mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” (HR. Muslim no. 2167) Memulai Salam pada Orang Kafir Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum memulai ucapan salam pada orang kafir dan hukum membalas salam mereka. Kebanyakan ulama terdahulu dan belakangan mengharamkan memulai ucapan salam. Imam Nawawi berkata, “Larangan yang disebutkan dalam hadits di atas menunjukkan keharaman, Inilah yang benar bahwa memulai mengucapkan salam pada orang kafir dinilai haram.” (Syarh Shahih Muslim, 14: 145). Adapun memulai mengucapkan “selamat pagi” pada orang kafir, tidaklah masalah. Namun lebih baik tetap tidak mengucapkannya kecuali jika ada maslahat atau ingin menghindarkan diri dari mudhorot. (Keterangan dari islamweb) Membalas Salam Orang Kafir Mayoritas ulama (baca: jumhur) berpendapat bahwa jika orang kafir memberi salam, maka jawablah dengan ucapan “wa ‘alaikum”. Dalilnya adalah hadits muttafaqun ‘alaih dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ “Jika seorang ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) memberi salam pada kalian, maka balaslah dengan ucapan ‘wa’alaikum’.” (HR. Bukhari no. 6258 dan Muslim no. 2163) Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Anas bin Malik berkata, مَرَّ يَهُودِىٌّ بِرَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ السَّامُ عَلَيْكَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « وَعَلَيْكَ » . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَتَدْرُونَ مَا يَقُولُ قَالَ السَّامُ عَلَيْكَ » . قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلاَ نَقْتُلُهُ قَالَ « لاَ ، إِذَا سَلَّمَ عَلَيْكُمْ أَهْلُ الْكِتَابِ فَقُولُوا وَعَلَيْكُمْ » “Ada seorang Yahudi melewati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu ia mengucapkan ‘as saamu ‘alaik’ (celaka engkau).” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas membalas ‘wa ‘alaik’ (engkau yang celaka). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Apakah kalian mengetahui bahwa Yahudi tadi mengucapkan ‘assaamu ‘alaik’ (celaka engkau)?” Para sahabat lantas berkata, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami membunuhnya saja?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jangan. Jika mereka mengucapkan salam pada kalian, maka ucapkanlah ‘wa ‘alaikum’.” (HR. Bukhari no. 6926) Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Hadits di atas menunjukkan bahwa ada perbedaan menjawab salam orang muslim dan orang kafir. Ibnu Battol berkata, “Sebagian ulama berpendapat bahwa membalas salam orang kafir adalah wajib berdasarkan keumuman ayat (yaitu surat An Nisa ayat 86, pen). Telah shahih dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Jika ada yang mengucapkan salam padamu, maka balaslah ucapannya walau ia seorang Majusi.” Demikian pendapat Asy Sya’bi dan Qotadah. Namun Imam Malik dan jumhur (mayoritas ulama) melarang demikian. Atho’ berkata, “Ayat (yaitu surat An Nisa’ ayat 86) hanya khusus bagi kaum muslimin. Jadi tidak boleh menjawab salam orang kafir secara mutlak. Hadits di atas cukup menjadi alasan.” (Fathul Bari, 11: 42) Surat An Nisa ayat 86 yang dimaksud adalah, وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا “Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (QS. An Nisa’: 86). Inilah dalil yang jadi alasan sebagian ulama (seperti Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin rahimahullah) bahwa jika orang kafir memberi salam ‘as salaamu ‘alaikum’, maka hendaklah dibalas dengan yang semisal, yaitu ‘wa ‘alaikumus salam’. Keterangan: Orang kafir yang dimaksud di sini adalah setiap non muslim, baik Yahudi, Nashrani, Majusi, Hindu, Budha dan lainnya. Ketika Bertemu Orang Kafir di Jalan Adapun maksud hadits, فَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِى طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إِلَى أَضْيَقِهِ “Jika kalian berjumpa salah seorang di antara mereka di jalan, maka pepetlah hingga ke pinggirnya.” Yang dimaksud adalah janganlah membuka jalan pada orang kafir dalam rangka memuliakan atau menghormati mereka. Sehingga bukanlah maknanya jika kalian bertemu orang kafir di jalan yang luas, maka paksalah mereka hingga ke lubang sehingga jalan mereka menjadi sempit. Pemahaman seperti ini berarti menyakiti non muslim tanpa ada sebab. Demikian keterangan Al Munawi dalam Faidul Qodir (6: 501) yang menyanggah tafsiran sebagian ulama yang keliru. Wallahu a’lam bish showwab. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna. @ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 15 Dzulhijjah 1432 H Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal Artikel www.muslim.or.id

TENTANG HADITS-HADITS YANG MENJADI INTI DASAR POKOK AGAMA ISLAM (Bag VII)

1324] Hadits Ketiga puluh; dan hadits ini merupakan penutup hadits-hadits dan penutup kitab, maka kami menyebutkannya dengan sanad yang terpilih, dan kami memohon kepada Allah ta’ala yang Maha Mulia penutup yang baik. Syaikh kami, al-Hafidz Abu al-Baqa' Khalid bin Yusuf an-Nabulusi kemudian ad-Dimasyqi rahimahullah telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Abu Thalib Abdullah, Abu Manshur Yunus, Abu al-Qasim Husain bin Hibatillah bin Shashra dan Abu Ya'la Hamzah serta Abu Thahir Ismail (mereka semua) telah mengabarkan kepada kami, mereka berkata, Al-Hafizh Abu al-Qasim Ali bin al-Hasan Dalam sebagian teks: al-Husain, dan dia seorang laki-laki yang dikenal -dia Ibnu Asakir- telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Asy-Syarif Abu al-Qasim Ali bin Ibrahim bin al-Abbas al-Husaini seorang khatib di Damaskus telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Yahya bin Salwan telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Abu al-Qasim al-Fadhl bin Ja'far telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Abu Bakar Abdurrahman bin al-Qasim bin al-Faraj al-Hasyimi telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Abu Musyhir telah mengabarkan kepada kami, dia berkata, Sa'id bin Abdul Aziz telah mengabarkan kepada kami, dari Rabi'ah bin Yazid, dari Abu Idris al-Khaulani, dari Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, dari Rasulullah shallahu 'alaihi wa sallam, dari Jibril ‘alaihissalam , dari Allah ta’ala, bahwa Dia berfirman, يَا عِبَادِي، إِنِّيْ حَرَّمْتُ الظُّلْمَ عَلَى نَفْسِيْ، وَجَعَلْتُهُ بَيْنَكُمْ مُحَرَّمًا، فَلاَ تَظَالَمُوْا. يَا عِبَادِي، إِنَّكُمُ الَّذِيْنَ تُخْطِئُوْنَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ، وَأَنَا الَّذِي أَغْفِرُ الذُّنُوْبَ وَلاَ أُبَالِيْ، فَاسْتَغْفِرُوْنِي أَغْفِرْ لَكُمْ. يَا عِبَادِي، كُلُّكُمْ جَائِعٌ، إِلاَّ مَنْ أَطْعَمْتُهُ، فَاسْتَطْعِمُوْنِيْ أُطْعِمْكُمْ. يَا عِبَادِي،كُلُّكُمْ عَارٍ، إِلاَّ مَنْ كَسَوْتُهُ، فَاسْتَكْسُوْنِيْ أَكْسُكُمْ. يَا عِبَادِي، لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ، كَانُوْا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، لَمْ يَنْقُصْ ذلِكَ مِنْ مُلْكِيْ شَيْئًا. يَا عِبَادِي، لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ، لَمْ يَزِدْ ذلِكَ فِي مُلْكِيْ شَيْئًا. يَا عِبَادِي، لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ قَامُوا Pada semua naskah "كَانُوْا". Dan yang benar adalah yang ditetapkan oleh Muslim. فِي صَعِيدٍ وَاحِدٍ، فَسَأَلُوْنِي، فَأَعْطَيْتُ كُلَّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ مَا سَأَلَ، لَمْ يَنْقُصْ ذلِكَ مِنْ مُلْكِي شَيْئًا، إِلاَّ كَمَا يَنْقُصُ الْبَحْرُ أنْ يُغْمَسَ الْمِخْيَطُ فِيْهِ غَمْسةً وَاحِدَةً. يَا عِبَادِي، إِنَّمَا هِيَ أَعْمَالُكُمْ أَحْفَظُهَا عَلَيْكُمْ: فَمَنْ وَجَدَ خَيْرًا، فَلْيَحْمَدِ اللهَ ، وَمَنْ وَجَدَ غَيْرَ ذلِكَ فَلاَ يَلُوْمَنَّ إِلاَّ نَفْسَهُ. "Wahai hambaKu, sesungguhnya Aku mengharamkan kezhaliman pada diriKu, dan saya menjadikan kezhaliman di antara kalian adalah haram, maka janganlah saling menzhalimi. Wahai hambaKu, sesungguhnya kamu yang melakukan dosa di malam dan siang hari, dan Aku-lah yang mengampuni dosa, dan Aku tidak peduli (sebanyak apapun), maka beristighfarlah kepadaKu, niscaya Aku akan mengampunimu. Wahai hambaKu, Setiap kalian adalah lapar kecuali orang yang Aku beri makan, maka mintalah makan kepadaKu, niscaya Aku akan memberimu makan. Wahai hambaKu, setiap kalian adalah telanjang kecuali orang yang Aku beri pakaian, maka mintalah pakaian kepadaKu, niscaya Aku akan memberi kalian pakaian. Wahai hambaKu, kalau sekiranya makhluk paling awal dan terakhir dari kalian, manusia dan jin di antara kalian (semuanya jahat) seperti orang yang paling durjana dari kalian, maka hal tersebut tidak mengurangi kekuasaanKu sedikit pun. Wahai hambaKu, kalau sekiranya makhluk paling awal dan terakhir dari kalian, manusia dan jin diantara kalian (semuanya baik) seperti hati orang yang paling takwa dari kalian, maka hal tersebut tidak menambah kekuasaanKu sedikit pun. Wahai hambaKu, kalau sekiranya makhluk paling awal dan terakhir dari kalian, manusia dan jin kalian berdiri dalam satu padang luas, lalu mereka meminta kepadaKu, maka Aku akan memberikan kepada setiap manusia di antara mereka segala yang dimintanya, dan hal tersebut tidak akan mengurangi kekuasaanKu sedikit pun kecuali seperti berkurangnya laut ketika jarum dimasukkan ke dalamnya satu kali (lalu diangkat kembali). Wahai hambaKu, itulah amalmu yang Aku jaga untukmu. Barangsiapa yang mendapatkan kebaikan maka hendaklah dia bersyukur kepada Allah. Barangsiapa yang mendapatkan selain itu, maka janganlah dia mencaci maki kecuali dirinya sendiri." Abu Mushir berkata, "Sa'id bin Abdul Aziz berkata, 'Abu Idris apabila menyampaikan hadits ini dia berlutut di atas kedua lututnya'." Hadits ini shahih, kami meriwayatkannya dalam Shahih Muslim -Kitab al-Birr, Bab Tahrim azh-Zhulm 4/1994, no. 2257. dan lainnya, dan perawi isnadnya berasal dariku sampai Abu Dzar radhiyallahu 'anhu, mereka semua adalah orang-orang dari Damaskus, dan Abu Dzar masuk ke Damaskus, maka berkumpullah dalam hadits ini sejumlah faidah, di antaranya: Keshahihan isnad dan matannya, Ketinggiannya karena sanadnya adalah rangkaian rawi-rawi kota Damaskus, semoga Allah meridhai mereka dan memberi berkah kepada mereka. Di antara faidahnya adalah kandungan yang dicakupnya berupa penjelasan kaidah yang agung dalam pokok-pokok agama Islam dan cabangnya, adab dan kelembutan hati, dan lainnya. Segala puji bagi Allah. Kami telah meriwayatkan dari al-Imam Abu Abdullah Ahmad bin Hanbal semoga Allah merahmati dan meridhainya, "Dia berkata, "Penduduk Syam tidak memiliki hadits yang lebih mulia daripada hadits ini." Sumber : Ensiklopedia Dzikir Dan Do’a, Imam Nawawi, Pustaka Sahifa Jakarta.

Tanda Hati yang Sakit

Di antara tanda hati yang sakit adalah hamba sulit untuk merealisasikan tujuan penciptaan dirinya, yaitu untuk mengenal Allah, mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, kembali kepada-Nya dan memprioritaskan seluruh hal tersebut daripada seluruh syahwatnya. Akhirnya, hamba yang sakit hatinya lebih mendahulukan syahwat daripada menaati dan mencintai Allah sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla, أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS. Al Furqan: 43). Beberapa ulama salaf menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, هو الذي كلما هوى شيئا ركبه . فيحيا في هذه الحياة الدنيا حياة البهائم لا يعرف ربه عز وجل ولا يعبده بأمره ونهيه كما قال تعالى : ( يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوىً لَهُمْ)(محمد: من الآية12) “Orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dia yang senantiasa menunggangi hawa nafsunya, sehingga kehidupan yang dijalaninya di dunia ini layaknya kehidupan binatang ternak, tidak mengenal Rabb-nya ‘azza wa jalla, tidak beribadah kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, persis seperti firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka’ (QS. Muhammad: 12).” Pada akhirnya, balasan sesuai dengan perbuatan, sebagaimana di dunia dia tidak menjalani kehidupan yang dicintai dan diridhai Allah ‘azza wa jalla, dia menikmati seluruhnya dan hidup menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya, maka demikian pula di akhirat kelak, dia akan menjalani kehidupan yang tiada kebahagiaan di dalamnya, dirinya tidak akan mati sehingga terbebas dari adzab yang menyakitkan. Dia tidak mati, tidakpula hidup, يَتَجَرَّعُهُ وَلا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِنْ وَرَائِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ “Diminumnya air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada azab yang berat” (QS. Ibrahim: 17). Diantara tanda hati yang sakit adalah pemiliknya tidak merasa terluka akibat tindakan-tindakan kemaksiatan sebagaimana kata pepatah ‘وما لجرح بميت إيلام’, tidaklah menyakiti, luka yang ada pada mayat. Hati yang sehat akan merasa sakit dan terluka dengan kemaksiatan, sehingga hal ini melahirkan taubat dan inabah kepada Rabb-nya ‘azza wa jalla. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala, إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. Al A’raaf: 201). Allah berfirman ketika menyebutkan karakter orang beriman, والذين إذا فعلوا فاحشة أو ظلموا أنفسهم ذكروا الله فاستغفروا لذنوبهم ومن يغفر الذنوب إلا الله ولم يصروا على ما فعلوا وهم يعلمون “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui” (QS. Ali Imran: 135). Maksudnya adalah ketika mereka bermaksiat, mereka mengingat Allah ‘azza wa jalla, ancaman dan siksa yang disediakan oleh-Nya bagi pelaku kemaksiatan, sehingga hal ini mendorong mereka untuk beristighfar kepada-Nya. Penyakit hati justru menyebabkan terjadinya kontinuitas keburukan seperti yang dikemukakan oleh al-Hasan ketika menafsirkan firman Allah, كلا بل ران على قلوبهم ما كانوا يكسبون “Sekali-kali tidak (demikian), sebenarnya apa yang selalu mereka usahakan itu menutupi hati mereka” (QS. Al Muthaffifin: 14). Beliau mengatakan, هو الذنب على الذنب حتى يعمى القلب أما سليم القلب فيتبع السيئة الحسنة والذنب التوبة “Hal itu (rahn) adalah dosa di atas dosa yang membutakan hati. Adapun hati yang salim justru akan melahirkan perbuatan yang baik setelah dulunya berbuat buruk, melahirkan taubat setelah dulunya berbuat dosa.” Di antara tanda penyakit hati adalah pemiliknya tidak merasa risih dengan kebodohannya terhadap kebenaran. Hati yang salim akan merasa resah jika muncul syubhat di hadapannya, merasa sakit dengan kebodohan terhadap kebenaran dan ketidaktahuan terhadap berbagai keyakinan yang menyimpang. Kebodohan merupakan musibah terbesar, sehingga seorang yang memiliki kehidupan di dalam hati akan merasa sakit jika kebodohan bersemayam di dalam hatinya. Sebagian ulama mengatakan, ما عصى الله بذنب أقبح من الجهل ؟ “Adakah dosa kemaksiatan kepada Allah yang lebih buruk daripada kebodohan?” Imam Sahl pernah ditanya, يا أبا محمد أي شيء أقبح من الجهل؟ قال ” الجهل بالجهل ” ،قيل : صدق لأنه يسد باب العلم بالكلية “Wahai Abu Muhammad, adakah sesuatu yang lebih buruk daripada kebodohan? Dia menjawab, “Bodoh terhadap kebodohan.” Kemudian ada yang berkata, “Dia benar, karena hal itu akan menutup pintu ilmu sama sekali.” Ada penyair yang berkata, وفي الجهل قبل الموت موت لأهله وأجسامهم قبل القبور قبور وأرواحهم في وحشةٍ من جسومهم وليس لهم حتى النشور نشور Kebodohan adalah kematian sebelum pemiliknya mati, tubuh mereka layaknya kuburan sebelum dikuburkan Kepada tubuh yang semula, ruh mereka ingin kembali, padahal bagi mereka, tidak ada kebangkitan hingga hari kebangkitan Di antara tanda penyakit hati adalah pemiliknya berpaling dari nutrisi hati yang bermanfaat dan justru beralih kepada racun yang mematikan, sebagaimana tindakan mayoritas manusia yang berpaling dari al-Quran yang dinyatakan Allah sebagai obat dan rahmat dalam firman-Nya, وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين “Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…” (QS. Al Isra: 82). Mereka justru berpaling mendengarkan lagu yang menumbuhkan kemunafikan dalam hati, menggerakkan syahwat dan mengandung kekufuran kepada Allah ‘azza wa jalla. Pada kondisi ini, hamba mendahulukan kemaksiatan karena kecintaannya kepada sesuatu yang dimurkai oleh Allah dan rasul-Nya. Dengan demikian, mendahulukan kemaksiatan merupakan buah dari penyakit hati dan akan menambah akut penyakit tersebut. Sebaliknya, hati yang sehat justru akan mencintai apa yang dicintai Allah dan rasul-Nya sebagaimana firman-Nya, وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْأِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ “Tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (QS. Al Hujuraat: 7). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ذَاقَ طَعْمَ الْإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللهِ رَبًّا، وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا، وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا “Orang yang ridhal Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai rasul, niscaya akan merasakan kelezatan iman.” [HR. Muslim]. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ، حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ “Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga diriku lebih dicintainya daripada orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia.” [HR. Bukhari dan Muslim]. Diantara tanda penyakit hati, pemiliknya condong kepada kehidupan dunia, merasa enjoy dan tenteram dengannya, tidak merasa bahwa sebenarnya dia adalah pengembara di kehidupan dunia, tidak mengharapkan kehidupan akhirat dan tidak berusaha mempersiapkan bekal untuk kehidupannya kelak disana. Setiap kali hati sembuh dari penyakitnya, dia akan beranjak untuk condong kepada kehidupan akhirat, sehingga keadaannya persis seperti apa yang disabdakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل “Hiduplah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau orang yang sekedar menumpang lewat” [HR. Bukhari]. Wallahul muwaffiq. Dikutip dari al-Bahr ar-Raiq karya Syaikh Ahmad Farid — Penyusun: Muhammad Nur Ichwan Muslim Artikel www.muslim.or.id

Salah VS Benar Dalam Memandang Dunia

Saudaraku… Dunia adalah tempat kita hidup. Manusia di dalam memandang kehidupan dunia terbagi menjadi dua. Pertama, Pandangan yang tidak benar; dan kedua, Pandangan yang benar. Bagaimanakah pandangan yang tidak benar? dan bagaimana pula pandangan yang benar? Dua pertanyaan ini akan kita jawab dalam tulisan ini. Semoga bermanfaat. Saudaraku… Jawaban atas pertanyaan “Bagaimanakah pandangan yang salah terhadap kehidupan dunia ini?” adalah “Pandangan Materialistis.” Apa yang dimaksud dengan “Pandangan Materialistis?” Maksudnya yaitu, pemikiran seseorang yang hanya terbatas pada bagaimana mendapatkan kenikmatan sesaat di dunia, sehingga apa yang diusahakannya hanya seputar masalah tersebut. Pikirannya tidak melampaui hal tersebut, ia tidak mempedulikan akibat-akibatnya, tidak pula berbuat dan memperhatikan masalah tersebut. Ia tidak mengetahui bahwa Allah menjadikan dunia ini sebagai ladang akhirat. Allah menjadikan dunia ini sebagai kampung beramal dan akhirat sebagai kampung balasan. Maka barangsiapa mengisi dunianya dengan amal shalih, niscaya ia mendapatkan keberuntungan di dua kampung tersebut. Sebaliknya barangsiapa menyia-nyiakan dunianya, niscaya ia akan kehilangan akhiratnya. Allah berfirman, artinya, “Rugilah ia di dunia dan akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. al-Hajj: 11). Saudaraku…Allah tidak menciptakan dunia ini untuk main-main, tetapi Allah menciptakannya untuk suatu hikmah yang agung. Allah berfirman, artinya, “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (QS. al-Mulk: 2). Dia juga berfirman, artinya, “Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang ada di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya.” (QS. al-Kahfi : 7). Saudaraku… Demikianlah, Allah menjadikan di atas dunia ini berbagai kenikmatan sesaat dan perhiasan lahiriah, baik berupa harta, anak-anak, pangkat, kekuasaan dan berbagai macam kenikmatan lain yang tidak mengetahuinya kecuali Allah. Di antara manusia –bahkan mayoritas– ada yang menyempitkan pandangannya hanya pada lahiriah dan kenikmatan-kenikmatan dunia semata. Mereka memuaskan nafsunya dengan berbagai hal tersebut dan tidak merenungkan rahasia di balik itu. Karenanya, mereka sibuk untuk mendapatkan dan mengumpulkan dunia dengan melupakan amal untuk sesudah mati. Bahkan mereka mengingkari adanya kehidupan selain kehidupan dunia, sebagaimana firman Allah, artinya, “Dan tentu mereka akan mengatakan (pula), hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan!” (QS. al-An’am: 29). Allah mengancam orang yang memiliki pandangan seperti ini terhadap dunia, sebagaimana firman-Nya, artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan (tidak percaya akan) pertemuan dengan Kami, dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tentram dengan kehidupan dunia itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya ialah neraka, disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.” (QS. Yunus: 7-8). Dia juga berfirman, artinya, “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia, dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16). Saudaraku… Ancaman di atas berlaku bagi semua orang yang memiliki pandangan materialistis tersebut, mereka yang memiliki amal akhirat, tetapi menghendaki kehidupan dunia, seperti orang-orang munafik, orang-orang yang berpura-pura dengan amal perbuatan mereka atau orang-orang kafir yang tidak percaya terhadap adanya kebangkitan dan hisab (perhitungan amal). Sebagaimana keadaan orang-orang Jahiliyah dan aliran-aliran destruktif (merusak) seperti kapitalisme, komunisme, sekulerisme dan atheisme. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengetahui nilai kehidupan dan pandangan mereka terhadap dunia tidak lebih dari pandangan binatang, bahkan lebih sesat dari binatang. Sebab, mereka menafikan akal mereka, menundukkan kemampuan mereka dan menyia-nyiakan waktu mereka yang tidak akan kekal untuknya, juga mereka tidak melakukan amalan untuk tempat kembali mereka yang telah menunggu, dan mereka pasti menuju ke sana. Adapun binatang, maka tidak ada tempat kembali yang menunggunya, juga tidak memiliki akal untuk berfikir seperti manusia, karena itu Allah berfirman tentang mereka, artinya, “Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (QS. al- Furqan: 44). Allah menyifati orang-orang yang memiliki pandangan ini dengan sifat tidak memiliki ilmu. Allah berfirman, artinya, “Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (QS. ar-Ruum: 6-7). Saudaraku… Meskipun mereka ahli di berbagai bidang penemuan dan industri, tetapi pada hakikatnya mereka adalah orang-orang bodoh yang tidak pantas mendapatkan julukan alim, sebab ilmu mereka tidak lebih dari ilmu lahiriyah kehidupan dunia, sedang ia adalah ilmu yang dangkal, sehingga memang tidak selayaknya para pemiliknya mendapat gelar mulia, yakni gelar ulama, tetapi gelar ini hanya diberikan kepada orang-orang yang mengenal Allah dan takut kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya, artinya, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ulama.” (QS. Fathir: 28). Saudaraku…ketahuilah bahwa termasuk pandangan materialistis terhadap kehidupan dunia ini adalah apa yang disebutkan Allah dalam kisah Qarun dan kekayaan yang diberikan kepadanya. Allah berfirman, artinya, “Maka keluarlah Qarun kepada kaumnya dalam kemegahannya. Berkatalah orang-orang yang menghendaki kehidupan dunia, ‘Moga-moga kiranya kita mempunyai seperti apa yang telah diberikan kepada Qarun sesungguhnya ia benar-benar mempunyai keberuntungan yang besar’.” (QS. al-Qashash: 79). Mereka mengangan-angankan dan menginginkan memiliki kekayaan seperti Qarun seraya menyifatinya telah mendapatkan keberuntungan yang besar, yakni berdasarkan pandangan mereka yang materialistis. Saudaraku… Demikianlah pandangan materialistis yang merupakan pandangan yang salah terhadap kehidupan dunia ini. Lalu, bagaimanakah padangan yang benar terhadap kehidupan dunia ini? Jawabnya adalah pandangan yang menyatakan bahwa apa yang ada di dunia ini, baik harta kekuasaan dan kekuatan materi lainnya hanyalah sebagai sarana untuk amal akhirat. Karena itu, pada hakikatnya dunia bukanlah tercela karena dirinya, tetapi pujian atau celaan itu tergantung pada perbuatan hamba di dalamnya. Dunia ini adalah jembatan penyeberangan menuju akhirat dan dari padanya bakal menuju surga. Dan kehidupan baik yang diperoleh penduduk surga tidak lain kecuali berdasarkan apa yang telah mereka tanam ketika di dunia. Maka dunia adalah kampung perjuangan, shalat, puasa, dan infak di jalan Allah, serta medan laga untuk berlomba dalam kebaikan. Allah berfirman kepada penduduk surga, artinya, “(Kepada mereka dikatakan),‘Makan dan minumlah dengan sedap disebabkan amal yang telah kamu kerjakan pada hari-hari yang telah lalu (ketika di dunia).” (QS. al-Haqqah: 24). Allahu ‘alam bish shawab Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan seluruh pengikutnya yang baik hingga akhir zaman. (Abu Umair Amar bin Syakir) [Sumber: Disarikan dari berbagai sumber]

Yaumul Mizan

Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang teguh pada sunnah Beliau sampai hari kiamat. Mizan atau timbangan adalah alat untuk mengukur sesuatu berdasarkan berat dan ringan. Adapun mizan di akherat adalah sesuatu yang Allah letakkan pada hari Kiamat untuk menimbang amalan hamba-Nya. (Syarah Lum’atul I’tiqaad, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, hal. 120) Mizan di hari Kiamat adalah sesuatu yang hakiki dan benar-benar ada. Hanya Allah Ta’ala yang mengetahui seberapa besar ukurannya. Seandainya langit dan bumi diletakkan dalam daun timbangannya, niscaya mizan tersebut akan tetap lapang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: يُوْضَعُ الْمِيْزَانُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، فَلَوْ وُزِنَ فِيْهِ السَّمَوَاتُ وَالأَرْضُ لَوَسِعَتْ، فَتَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةُ: يَا رَبِّ! لِمَنْ يَزِنُ هَذَا؟ فَيَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: لِمَنْ شِئْتُ مِنْ خَلْقِيْ، فَتَقُوْلُ الْمَلاَئِكَةُ: سُبْحَانَكَ مَا عَبَدْنَاكَ حَقَّ عِبَادَتِكَ. “Pada hari Kiamat, mizan akan ditegakkan. Andaikan ia digunakan untuk menimbang langit dan bumi, niscaya ia akan tetap lapang. Maka Malaikat pun berkata, “Wahai Rabb-ku, untuk siapa timbangan ini?” Allah berfirman: “Untuk siapa saja dari hamba-hamba-Ku.” Maka Malaikat berkata, “Maha suci Engkau, tidaklah kami dapat beribadah kepada-Mu dengan sebenar-benarnya.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim dan dinilai shohih oleh al-Albani dalam Silsilah As-Silsilah Ash-Shohihah, no. 941). Kaum muslimin rahimakumullah, mizan ini sangat akurat dalam menimbang, tidak lebih dan tidak kurang sedikitpun. Allah Ta’ala berfirman: وَنَضَعُ الْمَوَازِيْنَ الْقِسْطَ لِيَوْمِ الْقِيَامَةِ فَلاَ تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئًا وَإِنْ كَانَ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِنْ خَرْدَلٍ أَتَيْنَا بِهَا وَكَفَى بِنَا حَاسِبِيْنَ (47) “Dan Kami akan tegakkan timbangan yang adil pada hari Kiamat, sehingga tidak seorang pun yang dirugikan walaupun sedikit. Jika amalan itu hanya seberat biji sawipun, pasti Kami akan mendatangkan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al-Anbiya’: 47) Mizan ini memiliki dua daun timbangan sebagaimana diceritakan dalam hadits tentang kartu (bithoqoh) yang akan kami sampaikan haditsnya nanti. Lalu, apakah yang ditimbang di hari Kiamat kelak? Para ulama kita berbeda pendapat tentang apa yang ditimbang di hari Kiamat. Ada tiga pendapat dalam masalah ini. Pendapat Pertama, Yang Ditimbang Adalah Amal Pendapat ini didukung oleh hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: كَلِمَتَانِ خَفِيْفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ، ثَقِيْلَتَانِ فِي الْمِيْزَانِ، حَبِيْبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ: سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللهِ الْعَظِيْمِ “Ada dua kalimat yang ringan diucapkan oleh lisan, tetapi berat dalam timbangan (pada hari Kiamat), dan dicintai oleh ar-Rahman (Allah Yang Maha Pengasih): Subhaanallohi wa bihamdihi dan Subhanallohil ‘Azhim.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 6406, 6682, dan Muslim, 2694). Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Hajar al-Ashqolani rahimahullah. Beliau berpendapat bahwa yang ditimbang adalah amal, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: مَا مِنْ شَيْءٍ فِي الْمِيْزَانِ أَثْقَلُ مِنْ حُسْنِ الْخُلُقِ “Tidak ada sesuatu yang lebih berat ketika ditimbang (di hari Kiamat) daripada akhlak yang mulia.” (Diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam kitab al-Adab al-Mufrad, no. 270 dan dinilai shohih oleh al-Albani dalam Shahiih al-Adab al-Mufrad, no. 204) Kedua, Yang Ditimbang Adalah Orangnya Ada beberapa hadits yang menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah orangnya. Berat atau ringannya timbangan tergantung pada keimanannya, bukan berdasarkan ukuran tubuh, berat badannya, atau banyaknya daging yang ada di tubuh mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: إِنَّهُ لَيَأْتِي الرَّجُلُ الْعَظِيْمُ السَّمِيْنُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ يَزِنُ عِنْدَ اللهِ جَنَاحَ بَعُوْضَةٍ “Sesungguhnya pada hari Kiamat nanti ada seorang laki-laki yang besar dan gemuk, tetapi ketika ditimbang di sisi Allah, tidak sampai seberat sayap nyamuk.” Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda: ”Bacalah.. فَلاَ نُقِيْمُ لَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَزْنًا (105) “Dan Kami tidak mengadakan suatu penilaian bagi (amalan) mereka pada hari Kiamat.” (QS. Al-Kahfi: 105). (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no. 4729 dan Muslim, no. 2785) ‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu adalah seorang sahabat betisnya kecil. Tatkala ia mengambil ranting pohon untuk siwak, tiba-tiba angin berhembus dengan sangat kencang dan menyingkap pakaiannya, sehingga terlihatlah kedua telapak kaki dan betisnya yang kecil. Para sahabat yang melihatnya pun tertawa. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang sedang kalian tertawakan?” Para sahabat menjawab, “Kedua betisnya yang kecil, wahai Nabiyullah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَهُمَا أَثْقَلُ فِي الْمِيْزَانِ مِنْ أُحُدٍ “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kedua betisnya itu di mizan nanti lebih berat dari pada gunung uhud.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya, I/420-421 dan ath-Thabrani dalam al-Kabiir, IX/75. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shohihah, no. 3192). Pendapat Ketiga, Yang Ditimbang Adalah Lembaran Catatan Amal Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Sungguh Allah akan membebaskan seseorang dari umatku di hadapan seluruh manusia pada hari Kiamat dimana ketika itu dibentangkan 99 gulungan catatan (dosa) miliknya. Setiap gulungan panjangnya sejauh mata memandang, kemudian Allah berfirman: ‘Apakah ada yang engkau ingkari dari semua catatan ini? Apakah para (Malaikat) pencatat amal telah menganiayamu?,’ Dia menjawab: ‘Tidak wahai Rabbku,’ Allah bertanya: ‘Apakah engkau memiliki udzur (alasan)?,’ Dia menjawab: ‘Tidak Wahai Rabbku.’ Allah berfirman: “Bahkan sesungguhnya engkau memiliki satu kebaikan di sisi-Ku dan sungguh pada hari ini engkau tidak akan dianiaya sedikitpun. Kemudian dikeluarkanlah sebuah kartu (bithoqoh) yang di dalamnya terdapat kalimat: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Lalu Allah berfirman: ‘Hadirkan timbanganmu.’ Dia berkata: ‘Wahai Rabbku, apalah artinya kartu ini dibandingkan seluruh gulungan (dosa) itu?,’ Allah berfirman: ‘Sungguh kamu tidak akan dianiaya.’ Kemudian diletakkanlah gulungan-gulungan tersebut pada satu daun timbangan dan kartu itu pada daun timbangan yang lain. Maka gulungan-gulungan (dosa) tersebut terangkat dan kartu (laa ilaaha illallah) lebih berat. Demikianlah tidak ada satu pun yang lebih berat dari sesuatu yang padanya terdapat Nama Allah.” (Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi, no. 2639, Ibnu Majah, no. 4300, Al-Hakim, 1/6, 529, dan Ahmad, no. II/213. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Albani dalam Silsilah Ahaadiits ash-Shahiihah, no. 135) Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh al-Qurthubi. Beliau mengatakan, “Yang benar, mizan menimbang berat atau ringannya buku-buku yang berisikan catatan amal…” (At-Tadzkirah, hal. 313) Kesimpulan Tiga pendapat di atas tidak saling bertentangan satu sama lain. Sebagian orang ada yang ditimbang amalnya, sebagian yang lain ditimbang buku catatannya, dan sebagian yang lain ditimbang dirinya. Syaikh Muhammad bin sholih al-’Utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa secara umum yang ditimbang adalah amal perbuatannya, karena kebanyakan dalil-dalil menunjukkan bahwa yang ditimbang adalah amal perbuatan. Adapun timbangan buku catatan amal dan pelakunya, maka itu khusus untuk sebagian orang saja. (Syarah al-’Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 390) Apa yang disampaikan oleh syaikh ‘Utsaimin inilah yang nampaknya lebih menentramkan hati. Wallahu Ta’ala a’lam. Semoga sedikit sajian yang kami sampaikan ini bisa menjadi pendorong bagi kita untuk beramal sholih. Dan sekecil apapun amalan yang kita lakukan, tidak akan disia-siakan walaupun sebesar semut kecil. Dan di hari Kiamat kelak, setiap manusia pasti akan melihat setiap amal yang telah dia usahakan di dunia ini. Kita memohon kepada Allah Ta’ala, semoga Allah Ta’ala menutup umur kita dengan kebaikan dan keselamatan. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. — Penulis: dr. Muhaimin Ashuri Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar, MA Artikel www.muslim.or.id

Ingat Mati

Bagi yang masih hidup perbanyaklah mengingat mati ….. karena …… Pertama, Mengingat mati adalah ibadah yang sangat dianjurkan. عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَكْثِرُوا ذِكْرَ هَاذِمِ اللَّذَّاتِ ». يَعْنِى الْمَوْتَ. Artinya: “Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutus kelezatan”, yaitu kematian”. (HR. Tirmidzi dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Tirmidzi). Kedua, Maut kapan saja bisa menghampiri dan tidak akan pernah keliru dalam hitungannya, maka jauhilah perbuatan dosa dari kesyirikan, bid’ah dan maksiat lainnya. {وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ} Artinya: “Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al A’raf: 34). {وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللَّهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا} [المنافقون : 11] Artinya: “Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila. datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan” (QS. Al Munafiqun: 11). Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Renungkanlah wahai manusia, (sebenarnya) kamu akan dapati dirimu dalam bahaya, karena kematian tidak ada batas waktu yang kita ketahui, terkadang seorang manusia keluar dari rumahnya dan tidak kembali kepadanya (karena mati), terkadang manusia duduk di atas kursi kantornya dan tidak bisa bangun lagi (karena mati), terkadang seorang manusia tidur di atas kasurnya, akan tetapi dia malah dibawa dari kasurnya ke tempat pemandian mayatnya (karena mati). Hal ini merupakan sebuah perkara yang mewajibkan kita untuk menggunakan sebaiknya kesempatan umur, dengan taubat kepada Allah Azza wa Jalla. Dan sudah sepantasnya manusia selalu merasa dirinya bertaubat, kembali, menghadap kepada Allah, sehingga datang ajalnya dan dia dalam sebaik-baiknya keadaan yang diinginkan.” (Lihat Majmu’ fatawa wa Rasa-il Ibnu Utsaimin, 8/474). Ketiga, Maut tidak ada yang mengetahui kapan datangnya melainkan Allah Ta’ala semata, tetapi dia pasti mendatangi setiap yang bernyawa, maka jauhilah hal-hal yang tidak bermanfaat selama hidup. ( كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَن زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَما الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ) [آل عمران : 185] “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari. kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185). (إِنَّ اللَّهَ عِندَهُ عِلْمُ السَّاعَةِ وَيُنَزِّلُ الْغَيْثَ وَيَعْلَمُ مَا فِي الْأَرْحَامِ وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَّاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ ) [لقمان: 34 ] Artinya: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Lukman: 34). Keempat, Siapa yang mati mulai saat itulah kiamatnya, tidak ada lagi waktu untuk beramal. عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ كَانَ الأَعْرَابُ إِذَا قَدِمُوا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- سَأَلُوهُ عَنِ السَّاعَةِ مَتَى السَّاعَةُ فَنَظَرَ إِلَى أَحْدَثِ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ فَقَالَ «إِنْ يَعِشْ هَذَا لَمْ يُدْرِكْهُ الْهَرَمُ قَامَتْ عَلَيْكُمْ سَاعَتُكُمْ» Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Orang-orang kampung Arab jika datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka bertanya tentang hari kiamat, kapan datangnya, lalu Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melihat kepada seorang yang paling muda dari mereka, kemudian beliau bersabda: “Jika hidup pemuda ini dan tidak mendapati kematian, maka mulai saat itulah kiamat kalian datang.” (HR. Muslim). المغيرة بن شعبة رضي الله عنه: أيها الناس إنكم تقولون: القيامة، القيامة؛ فإن من مات قامت قيامته. Al Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Wahai manusia, sesungguhnya kalian mengucapkan: “Kiamat, kiamat…maka ketahuilah, siapa yang mati mulai saat itulah dibangkitkan kiamat dia.” (Lihat kitab Al Mustadrak ‘Ala majmu’ al Fatawa, 1/88). Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Yang demikian itu, karena seorang manusia jika mati, maka dia masuk ke dalam hari kiamat, oleh sebab itulah dikatakan: ‘Siapa yang mati mulailah kiamatnya, setiap apa yang ada sesudah kematian, maka sesungguhnya hal itu termasuk dari hari akhir. Jadi, alangkah dekatnya hari kiamat bagi kita, tidak ada jaraknya antara kita dengannya, melainkan ketika sesesorang mati, kemudian dia masuk ke kehidupan akhirat, tidak ada di dalamnya kecuali balasan atas amal perbuatan. Oleh sebab inilah, harus bagi kita untuk memperhatikan poin penting ini.” (Lihat Majmu’ fatawa wa Rasa-il Ibnu Utsaimin, 8/474). Kelima, Dengan mengingat mati melapangkan dada, menambah ketinggian frekuensi ibadah عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “أكثروا ذكر هاذم اللذات: الموت، فإنه لم يذكره في ضيق من العيش إلا وسعه عليه، ولا ذكره في سعة إلا ضيقها” Artinya: “Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Perbanyaklah mengingat pemutuskan kelezatan, yaitu kematian, karena sesungguhnya tidaklah seseorang mengingatnya ketika dalam keadaan kesempitan hidup, melainkan dia akan melapangkannya, dan tidaklah seseorang mengingatnya ketika dalam keadaan lapang, melainkan dia akan menyempitkannya.” HR. Ibnu HIbban dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Al Jami’. Ad Daqqaq rahimahullah berkata, “من أكثر ذكر الموت أكرم بثلاثة: تعجيل التوبة، وقناعة القلب، ونشاط العبادة، ومن نسى الموت عوجل بثلاثة: تسويف التوبة، وترك الرضا بالكفاف، والتكاسل في العبادة” تذكرة القرطبي : ص 9 Artinya: “Barangsiapa yang banyak mengingat kematian maka dimuliakan dengan tiga hal: “Bersegera taubat, puas hati dan semangat ibadah, dan barangsiapa yang lupa kematian diberikan hukuman dengan tiga hal; menunda taubat, tidak ridha dengan keadaan dan malas ibadah” (Lihat kitab At Tadzkirah fi Ahwal Al Mauta wa Umur Al Akhirah, karya Al Qurthuby). Keenam, Dengan mengingat mati seseorang akan menjadi mukmin yang cerdas berakal, mari perhatikan riwayat berikut: عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما أَنَّهُ قَالَ: كُنْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- ثُمَّ قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَفْضَلُ قَالَ: «أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا» قَالَ فَأَىُّ الْمُؤْمِنِينَ أَكْيَسُ قَالَ: «أَكْثَرُهُمْ لِلْمَوْتِ ذِكْرًا وَأَحْسَنُهُمْ لِمَا بَعْدَهُ اسْتِعْدَادًا أُولَئِكَ الأَكْيَاسُ» Artinya: “Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bercerita: “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu datang seorang lelaki dari kaum Anshar mengucapkan salam kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, orang beriman manakah yang paling terbaik?”, beliau menjawab: “Yang paling baik akhlaknya”, orang ini bertanya lagi: “Lalu orang beriman manakah yang paling berakal (cerdas)?”, beliau menjawab: “Yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik persiapannya setelah kematian, merekalah yang berakal”. (HR. Ibnu Majah dan dishahihkan di dalam kitab Shahih Ibnu Majah). Ketujuh, Hari ini yang ada hanya beramal tidak hitungan, besok sebaliknya. Ali bin Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata, ارْتَحَلَتِ الدُّنْيَا مُدْبِرَةً، وَارْتَحَلَتِ الآخِرَةُ مُقْبِلَةً، وَلِكُلِّ وَاحِدَةٍ مِنْهُمَا بَنُونَ، فَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الآخِرَةِ، وَلاَ تَكُونُوا مِنْ أَبْنَاءِ الدُّنْيَا، فَإِنَّ الْيَوْمَ عَمَلٌ وَلاَ حِسَابَ، وَغَدًا حِسَابٌ وَلاَ عَمَلَ. Artinya: “Dunia sudah pergi meninggalkan, dan akhirat datang menghampiri, dan setiap dari keduanya ada pengekornya, maka jadilah kalian dari orang-orang yang mendambakan kehidupan akhirat dan jangan kalian menjadi orang-orang yang mendambakan dunia, karena sesungguhnya hari ini (di dunia) yang ada hanya amal perbuatan dan tidak ada hitungan dan besok (di akhirat) yang ada hanya hitungan tidak ada amal.” (Lihat kitab Shahih Bukhari). *) Ditulis oleh seorang yang mendambakan husnul khatimah: Ahmad Zainuddin, Selasa 4 Sya’ban 1432H, Dammam KSA. — Penulis: Ustadz Ahmad Zainuddin, Lc Artikel www.muslim.or.id