Pages

Subscribe:

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Pages

Ads 468x60px

Search This Blog

Featured Posts

Sabtu, 04 Agustus 2012

Cinta yang ihsan

Cinta di antara dua manusia yang ihsan



Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)

Agama Islam terdiri dari 3 pokok sebagaimana yang disampaikan oleh malaikat Jibril a.s yang kita ketahui dari hadits di atas yakni tentang Iman , tentang Islam dan tentang Ihsan

Tentang Iman atau aqidah, kita dapat temui pada ushuluddin atau i’tiqod
Tentang Islam atau syariat atau hukum-hukum dalam Islam, kita dapat temui pada fiqih
Tentang Ihsan atau akhlak, kita dapat temui pada tasawuf

Kami salinkan kembali dari hadits di atas yang merupakan landasan pokok tentang Ihsan atau tasawuf yakni

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu“. (HR Muslim 11).

Cinta di antara dua manusia yang telah ihsan adalah dikarenakan seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat) atau minimal dikarenakan selalu yakin di dalam pengawasan Allah Azza wa Jalla.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا طل إلا ظله: الإمام العادل، مشاب نشأ في عبادة ربه، ورجل قلبه معلق با لمساجد، ورجلان تحابا في الله، اجتمعا عليه وتفرقا عليه، ورجل طلبته امرأة ذات منصب وجمال فقال: إني أخاف الله، ورجل تصدق أخف حتى لا تعلم شماله ما تنفق يمينه، ورجلذكر الله خاليا ففاضت عيناه.

“Tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan selainNya :

(1). Seorang imam yang adil.
(2). Seorang pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan beribadah kepada Rabbnya.
(3). Seorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid.
(4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah ; berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah.
(5) Laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang tepandang dan dan cantik untuk berzina lantas ia berkata : “Sesungguhnya aku takut kepada Allah.”
(6) Seorang yang menyembunyikan sedekahnya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya.
(7). Seorang yang berdzikir kepada Allah dengan menepi seorang diri hingga bercucuran air matanya.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

من سره أن يجد حلاوة الإيمان فليحب المرء لا يحبه إلا لله عز وجل.

“Barangsiapa yang ingin meraih kelezatan iman hendaklah ia mencintai seseorang hanya karena Allah.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

من أحب لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان.

“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah dan menahan (tidak memberi) karena Allah. Sungguh ia telah menyempurnakan keimanan.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

إذا أحب أحدكم أخاه فى الله، فليعلمه، فإنه أبقى في الألفة وأثبت في المودة.

“Apabila salah seorang dari kamu mencintai saudaranya karena Allah hendaklah ia memberitahu kepadanya, karena hal itu dapat melanggengkan kasih sayang dan memperkuat rasa cinta.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

تهادوا تحابوا.

“Hendaklah kalian saling memberi, niscaya kalian akan saling menyayangi”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda dalam sebuah riwayat dari Rabbnya :

قال الله تعالى: حقت محبتي للمتحابين في.

“Allah berfirman : “Cinta-Ku telah ditetapkan bagi siapa saja yang saling mencintai karena Aku”.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda :

إن الله يقول يوم القيامة: أين المتحابون بجلالي اليوم أظلهم في ظلي يوم لا طل إلا طلي.

“Sesungguhnya Allah akan bertanya nanti pada hari Kiamat : “Dimanakah orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini Aku akan menaungi mereka di bawah naungan-Ku yang tiada yang tiada naungan kecuali naungan-Ku.”



Wassalam

Perantaraan yang dimuliakanNya

Berdoa dengan perantaraan yang dimuliakanNya


Firman Allah ta’ala,

alaa lillaahi alddiinu alkhaalishu waalladziina ittakhadzuu min duunihi awliyaa-a maa na’buduhum illaa liyuqarribuunaa ilaa allaahi zulfaa inna allaaha yahkumu baynahum fii maa hum fiihi yakhtalifuuna inna allaaha laa yahdii man huwa kaadzibun kaffaarun

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar” (QS Az Zumar [39]: 3 )

Sebagian orang menyalahgunakan firman Allah ta’ala ini untuk mensesatkan atau bahkan mengkafirkan kaum muslim yang berdoa dengan bertawassul dengan orang sholeh yang sudah wafat.

Padahal “maa na’buduhum illaa liyuqarribuunaa ilaa allaahi” (QS Az Zumar [39]:3]) menjelaskan bahwa mereka menyembah selain Allah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Juga ditegaskan dalam ayat tersebut bahwa mereka adalah orang-orang pendusta dengan kata lain apa yang mereka katakan “mendekatkan diri kepada Allah” adalah dusta belaka

Sedang orang yang bertawassul dengan orang sholeh yang sudah wafat sama sekali tidak menyembahnya. Tetapi ia mengetahui bahwa orang sholeh itu memiliki kemuliaan di sisi Allah lalu ia bertawassul dengannya karena dimuliakanNya.

Berdoa dengan bertawassul adalah perintahNya

Firman Allah ta’ala yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (washilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al Maa’idah [5]: 35 )”

Bertawassul adalah adab berdoa, berperantara pada kemuliaan seseorang, kemuliaan tempat, kemuliaan benda , kemuliaan waktu, kemulian doa atau dzikrullah dihadapan Allah Azza wa Jalla

Boleh berperantara pada kemuliaan seseorang baik yang masih hidup maupun yang sudah wafat karena kemuliaan seseorang di hadapan Allah tak akan sirna walaupun mereka sudah wafat. Terlebih lagi mereka yang meraih kemuliaan disisiNya tetap hidup sebagaimana para Syuhada

Firman Allah ta’ala yang artinya
”Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada), (bahwa mereka itu ) mati; bahkan (sebenarnya) mereka itu hidup, tetapi kamu tidak menyadarinya.” (QS Al Baqarah [2]: 154 )

”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah (syuhada) itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezki.” (QS Ali Imran [3]: 169)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,

حياتي خير لكم ومماتي خير لكم تحدثون ويحدث لكم , تعرض أعمالكم عليّ فإن وجدت خيرا حمدت الله و إن وجدت شرا استغفرت الله لكم.

“Hidupku lebih baik buat kalian dan matiku lebih baik buat kalian. Kalian bercakap-cakap dan mendengarkan percakapan. Amal perbuatan kalian disampaikan kepadaku. Jika aku menemukan kebaikan maka aku memuji Allah. Namun jika menemukan keburukan aku memohonkan ampunan kepada Allah buat kalian.” (Hadits ini diriwayatkan oelh Al Hafidh Isma’il al Qaadli pada Juz’u al Shalaati ‘ala al Nabiyi Shallalahu alaihi wasallam. Al Haitsami menyebutkannya dalam Majma’u al Zawaaid dan mengkategorikannya sebagai hadits shahih dengan komentarnya : hadits diriwayatkan oleh Al Bazzaar dan para perawinya sesuai dengan kriteria hadits shahih)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

إن أعمالكم تعرض على أقاربكم وعشائركم من الأموات فإن كان خيرا استبشروا، وإن كان غير ذلك قالوا: اللهم لا تمتهم حتى تهديهم كما هديتنا)

“Sesungguhnya perbuatan kalian diperlihatkan kepada karib-kerabat dan keluarga kalian yang telah meninggal dunia. Jika perbuatan kalian baik, maka mereka mendapatkan kabar gembira, namun jika selain daripada itu, maka mereka berkata: “Ya Allah, janganlah engkau matikan mereka sampai Engkau memberikan hidayah kepada mereka seperti engkau memberikan hidayah kepada kami.” (HR. Ahmad dalam musnadnya).

Justru mereka yang membedakan bolehnya bertawassul pada yang hidup saja dan mengharamkan pada yang sudah wafat, maka mereka itu malah dirisaukan akan terjerumus pada kemusyrikan karena menganggap makhluk hidup bisa memberi manfaat, sedangkan akidah kita adalah semua yang hidup dan yang sudah wafat tak bisa memberi manfaat apa apa kecuali karena Allah ta’ala memuliakannya, bukan karena ia hidup lalu ia bisa memberi manfaat dihadapan Allah, berarti si hidup itu sebanding dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala?, si hidup bisa berbuat sesuatu pada keputusan Allah ?

Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya dan jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.

Bertawassul adalah adab berdoa , salah satu usaha agar do’a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah Subhanahu wa ta’ala

Bertawassul dengan kemulian orang yang sudah wafat, sebagaimana yang tercantum dalam Tafsir Ibnu Katsir surat An-nisa ayat 64, http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2011/09/ikjuz5p281_285.pdf

**** awal kutipan ****
Al-Atabi ra menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat kubur Nabi Shallallahu alaihi wasallam, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan,

“Assalamu’alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah). Aku telah mendengar Allah ta’ala berfirman yang artinya, ‘Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka menjumpai Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang‘ (QS An-Nisa: 64),

Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku.”

Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut , yaitu:
“Hai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.“

Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur.

Dalam tidurku itu aku bermimpi bersua dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam., lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Hai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!”
***** akhir kutipan *****

Bertawassul dengan kemulian tempat seperti berdoa di Multazam, Raudoh, Maqam Ibrahim dll

Bertawassul dengan waktu seperti berdoa pada sepertiga malam terakhir, berdoa ketika wukuf di pada Arafah, dll

Bertawassul dengan kemuliaan benda seperti berdoa memohon kesembuhan kepada Allah dengan perantaraan ludah orang-orang yang mulia disisi Allah

Telah menceritakan kepadaku Shadaqah bin Al Fadl telah mengabarkan kepada kami Ibnu ‘Uyainah dari ‘Abdurrabbihi bin Sa’id dari ‘Amrah dari ‘Aisyah dia berkata; Biasanya dalam meruqyah, beliau membaca: BISMILLAHI TURBATU ARDLINA BI RIIQATI BA’DLINA YUSYFAA SAQIIMUNA BI IDZNI RABBINA (Dengan nama Allah, Debu tanah kami dengan ludah sebagian kami semoga sembuh orang yang sakit dari kami dengan izin Rabb kami. (HR Bukhari 5305)

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan Zuhair bin Harb serta Ibnu Abu ‘Umar dan lafazh ini miliknya Ibnu Abu ‘Umar dia berkata; Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari ‘Abdu Rabbih bin Sa’id dari ‘Amrah dari ‘Aisyah bahwa apabila seseorang mengadukan suatu penyakit yang dideritanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti sakit kudis, atau luka, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berucap sambil menggerakkan anak jarinya seperti ini -Sufyan meletakkan telunjuknya ke tanah, kemudian mengangkatnya- Bismillahi turbatu ardhina biriiqati ba’dhina liyusyfaa bihi saqiimuna bi idzni rabbina. (Dengan nama Allah, dengan debu di bumi kami, dan dengan ludah sebagian kami, semoga sembuhlah penyakit kami dengan izin Rabb kami). Ibnu Abu Syaibah berkata; ruqyah tersebut berbunyi; Yusyfaa saqiimunaa’. Dan Zuhair berkata; Doa ruqyah tersebut berbunyi; Liyusyfaa saqiimunaa.’ (HR Muslim 4069)

Yang dimaksud ludah sebagian kami adalah ludah hambaNya yang disisiNya

Bertawassul dengan kemuliaan doa atau dzikrullah seperti berdoa memohon kesembuhan kepada Allah dengan perantaraan bacaan surat Al Fatihah

Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya At Tamimi; Telah mengabarkan kepada kami Husyaim dari Abu Bisyr dari Abu Al Mutawakkil dari Abu Sa’id Al Khudri bahwa beberapa orang sahabat melakukan perjalanan jauh dan berhenti untuk istirahat pada salah satu perkampungan ‘Arab, lalu mereka minta dijamu oleh penduduk kampung itu. Tetapi penduduk enggan menjamu mereka. Penduduk bertanya kepada para sahabat; ‘Adakah di antara tuan-tuan yang pandai mantera? Kepala kampung kami digigit serangga.’ Menjawab seorang sahabat; ‘Ya, ada! Kemudian dia mendatangi kepala kampung itu dan memanterainya dengan membaca surat Al Fatihah. Maka kepala kampung itu pun sembuh. Kemudian dia diberi upah kurang lebih tiga puluh ekor kambing. Tetapi dia enggan menerima seraya mengatakan; ‘Tunggu! Aku akan menanyakannya lebih dahulu kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, apakah aku boleh menerimanya.’ Lalu dia datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menanyakannya hal itu, katanya; ‘Ya, Rasulullah! Demi Allah, aku telah memanterai seseorang dengan membacakan surat Al Fatihah.’ Beliau tersenyum mendengar cerita sahabatnya dan bertanya: ‘Bagaimana engkau tahu Al Fatihah itu mantera? ‘ Kemudian sabda beliau pula: ‘Terimalah pemberian mereka itu, dan berilah aku bagian bersama-sama denganmu.’ Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyar dan Abu Bakr bin Nafi’ keduanya dari Ghundar Muhammad bin Ja’far dari Syu’bah dari Abu Bisyr melalui jalur ini, dia menyebutkan di dalam Haditsnya; ‘Kemudian orang itu mulai membacakan Ummul Qur’an, dan mengumpulkan ludahnya lalu memuntahkannya, setelah itu orang itu sembuh. (HR Muslim 4080)

Berdoa dengan bertawassul perantaraan sholawat kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam

Anas bin Malik r.a meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Tiada doa kecuali terdapat hijab di antaranya dengan di antara langit, hingga bershalawat atas Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka apabila dibacakan shalawat Nabi, terbukalah hijab dan diterimalah doa tersebut, namun jika tidak demikian, kembalilah doa itu kepada pemohonnya“

Rasulullah bersabda “Jika salah seorang di antara kalian berdoa maka hendaknya dia memulainya dengan memuji dan menyanjung Allah, kemudian dia bershalawat kepada Nabi -shallallahu alaihi wasallam-, kemudian setelah itu baru dia berdoa sesukanya.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan dishahihkan oleh At Tirmidzi)

Mereka bertanya kenapa kita harus bertawasul dalam berdoa sedangkan kita dijanjikan oleh Allah Azza wa Jalla akan mengabulkan segala permohonan hambaNya sebagaimana firmanNya yang artinya, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (QS Al Baqarah [2]:186 )

Kadang kita dalam memahami ayat di atas mengambil hanya sebagaian dari ayat itu yakni “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku“. Sehingga sebagian muslim, ketika selesai berdoa, seolah-olah “menagih janji” Allah Subhanahu wa Ta’ala berdasarkan apa yang dipahaminya itu.

Padahal dalam ayat itu juga telah dijelaskan jalan/cara/syarat agar Allah ar Rahmaan ar Rahiim mengabulkan doa hambaNya pada kalimat berikutnya “maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” maknanya doa akan terkabul tergantung kedekatan kita kepada Allah Azza wa Jalla atau tergantung kadar ketaatan kepada Allah dan RasulNya.

Seorang Muslim yang dikatakan telah mentaati Allah dan RasulNya sehingga mendapatkan maqom disisiNya adalah 4 golongan manusia sebagaimana firmanNya yang artinya “Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69 )

Maqom Shiddiqin atau kedekatan dengan Allah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/09/09/2011/09/28/maqom-wali-allah/

Semakin dekat kita kepada Allah bahkan sampai menjadi kekasihNya (Wali Allah) maka Allah telah menjanjikan pasti akan mengabulkan segala permintaan

Dalam sebuah hadits qudsi Rasulullah bersabda, Allah ta’ala berfirman “jika Aku sudah mencintainya, maka Akulah pendengarannya yang ia jadikan untuk mendengar, dan pandangannya yang ia jadikan untuk memandang, dan tangannya yang ia jadikan untuk memukul, dan kakinya yang dijadikannya untuk berjalan, jikalau ia meminta-Ku, pasti Kuberi, dan jika meminta perlindungan kepada-KU, pasti Ku-lindungi. Dan aku tidak ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku menjadi pelakunya sendiri sebagaimana keragu-raguan-Ku untuk mencabut nyawa seorang mukmin yang ia (khawatir) terhadap kematian itu, dan Aku sendiri khawatir ia merasakan kepedihan sakitnya” (HR Bukhari 6021)

Contohnya bagaimana Sayyidina Umar bin Khathab ra yang kita tahu setingkat beliau tentu bisa berdoa langsung kepada Allah ta’ala , namun beliau menjadikan Uwais ra seorang Tabi’in menjadi perantara bagi doanya kepada Allah Azza wa Jalla mengikuti pesan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Suatu hari Umar r.a. kedatangan rombongan dari Yaman, lalu ia bertanya :
“Adakah di antara kalian yang datang dari suku Qarn?”.
Lalu seorang maju ke dapan menghadap Umar. Orang tersebut saling bertatap pandang sejenak dengan Umar. Umar pun memperhatikannya dengan penuh selidik.
“Siapa namamu?” tanya Umar.
“Aku Uwais”, jawabnya datar.
“Apakah engkau hanya mempunyai seorang Ibu yang masih hidup?, tanya Umar lagi.
“Benar, Amirul Mu’minin”, jawab Uwais tegas.
Umar masih penasaran lalu bertanya kembali “Apakah engkau mempunyai bercak putih sebesar uang dirham?” (maksudnya penyakit kulit berwarna putih seperti panu tapi tidak hilang).
“Benar, Amirul Mu’minin, dulu aku terkena penyakit kulit “belang”, lalu aku berdo’a kepada Allah agar disembuhkan. Alhamdulillah, Allah memberiku kesembuhan kecuali sebesar uang dirham di dekat pusarku yang masih tersisa, itu untuk mengingatkanku kepada Tuhanku”.
“Mintakan aku ampunan kepada Allah”.
Uwais terperanjat mendengar permintaan Umar tersebut, sambil berkata dengan penuh keheranan. “Wahai Amirul Mu’minin, engkau justru yang lebih behak memintakan kami ampunan kepada Allah, bukankah engkau sahabat Nabi?”
Lalu Umar berkata “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata “Sesungguhnya sebaik-baik Tabiin adalah seorang bernama Uwais, mempunyai seorang ibu yang selalu dipatuhinya, pernah sakit belang dan disembuhkan Allah kecuali sebesar uang dinar di dekat pusarnya, apabila ia bersumpah pasti dikabulkan Allah. Bila kalian menemuinya mintalah kepadanya agar ia memintakan ampunan kepada Allah”
Uwais lalu mendoa’kan Umar agar diberi ampunan Allah. Lalu Uwais pun menghilang dalam kerumunan rombongan dari Yaman yang akan melanjutkan perjalanan ke Kufah. (HR Ahmad)

Hadits senada diriwayatkan oleh Imam Muslim

Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb; Telah menceritakan kepada kami Hasyim bin Al Qasim; Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Al Mughirah; Telah menceritakan kepadaku Sa’id Al Jurairi dari Abu Nadhrah dari Usair bin Jabir bahwa penduduk Kufah mengutus beberapa utusan kepada Umar bin Khaththab, dan di antara mereka ada seseorang yang biasa mencela Uwais. Maka Umar berkata; Apakah di sini ada yang berasal dari Qaran. Lalu orang itu menghadap Umar. Kemudian Umar berkata: ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: Sesungguhnya akan datang kepadamu seorang laki-laki dari Yaman yang biasa dipanggil dengan Uwais. Dia tinggal di Yaman bersama Ibunya. Dahulu pada kulitnya ada penyakit belang (berwarna putih). Lalu dia berdo’a kepada Allah, dan Allahpun menghilangkan penyakit itu, kecuali tinggal sebesar uang dinar atau dirham saja. Barang siapa di antara kalian yang menemuinya, maka mintalah kepadanya untuk memohonkan ampun kepada Allah untuk kalian. Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb dan Muhammad bin Al Mutsanna keduanya berkata; Telah menceritakan kepada kami ‘Affan bin Muslim; Telah menceritakan kepada kami Hammad yaitu Ibnu Salamah dari Sa’id Al Jurairi melalui jalur ini dari ‘Umar bin Al Khaththab dia berkata; Sungguh aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sebaik-baik tabi’in, adalah seorang laki-laki yang dibiasa dipanggil Uwais, dia memiliki ibu, dan dulu dia memiliki penyakit belang ditubuhnya. Carilah ia, dan mintalah kepadanya agar memohonkan ampun untuk kalian.’ (HR Muslim 4612)

Wassalam

Sikap atsarah

Kalian akan jumpai sikap atsarah



Kami tidaklah membela kebathilan atau mempermainkan hadits, apalagi menyembah Basyar Al Assad, penguasa negeri Suriah , ~Naudzubillah minzalik

Kami hanya mempertanyakan bagaimana kalau penguasa negeri Suriah berpegang pada hadits-hadits berikut

Dari Abu Said al Khudriy bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Apabila ada baiat kepada dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Ahmad).”

Dan telah menceritakan kepadaku Wahb bin Baqiyah Al Wasithi telah menceritakan kepada kami Khalid bin Abdullah dari Al Jurairi dari Abu Nadlrah dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya.” (HR Muslim 3444)

Dan telah menceritakan kepadaku Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yunus bin Abu Ya’fur dari ayahnya dari ‘Arfajah dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bila datang kepadamu seseorang yang hendak mematahkan tongkatmu (memecah belah jama’ah) atau memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia (HR Muslim 3433)

Begitupula kalau kita mau melihat sejarah bahwa ketika Muawiyah ra memberontak, kekhalifahan Islam terbagi dua : satu dipimpin Sayyidina Ali ra, lainnya dibawah Muawiyah. Muawiyah adalah famili Khalifah Usman bin Affan ra, yang sebelumnya menjabat gubernur Damaskus. Ia, sebagaimana keluarga Sayyidina Utsman yang lain, mencurigai Sayyidina Ali terlibat komplotan pembunuh Khalifah Ustman.

Ketika Imam Sayyidina Ali ra syahid terbunuh, terbukalah peluang bagi Muawiyah untuk menuju jenjang kekuasaan. Demi keutuhan umat islam, Sayyidina Hasan ra yang menggantikan ayahandanya, berkompromi atau lebih tepat mengalah, dengan menyerahkan kekuasaan kepada kepada Muawiyah. Tapi belakangan Imam Hasan ra justru diracun hingga wafat pada tahun 50 H / 630 M; beliau meninggal setelah diracun istrinya sendiri, Ja’dah binti Al-As’as, atas hasutan kelompok Muawiyah, dengan janji akan mendapat hadiah 100.000 dirham. Ketika itulah banyak kalangan mendesak Sayyidina Husein ra agar memberontak terhadap Khalifah Muawiyah. Tapi, beliau hanya menjawab pendek, “selama Muawiyah masih hidup, tak ada yang bisa diperbuat, karena begitu kuatnya khalifah itu.”

Bagaimana kesabaran rakyat Suriah mentaati sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menghadapi penguasa negeri Suriah sebagaimana hadits-hadits

Dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para shahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim 3446).

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Handlali telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Al Auza’i dari Yazid bin Yazid bin Jabir dari Ruzaiq bin Hayyan dari Muslim bin Qaradlah dari ‘Auf bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo’akan kalian dan kalian mendo’akan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka. Beliau ditanya, Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka? maka beliau bersabda: Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka. (HR Muslim 3447)

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Basyar keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Simak bin Harb dari ‘Alqamah bin Al Wa`il Al Hadlrami dari ayahnya dia berkata, Salamah bin Yazid Al Ja’fi pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Wahai Nabi Allah, bagaimanakah pendapatmu jika para penguasa yang memimpin kami selalu menuntut hak mereka atas kami tapi mereka tidak mau memenuhi hak kami, sikap apa yang anda anjurkan kepada kami? Maka beliau berpaling, lalu ditanyakan lagi kepada beliau dan beliaupun tetap enggan menjawabnya hingga dua atau tiga kali pertanyaan itu diajukan kepada beliau, kemudian Al Aty’ats bin Qa`is menarik Salamah bin Zayid. Beliau lalu bersabda: Dengarkan dan taatilah, sesungguhnya mereka akan mempertanggung jawabkan atas semua perbuatan mereka sebagaimana kalian juga akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan kalian. (HR Muslim 3433)

Begitupula kalau kita mau ambil pelajaran ketika Mu’awiyah ra yang sempat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan merupakan salah satu penulis wahyu, menetapkan khalifah penggantinya yaitu Yazid anaknya sendiri.

Umat Islam ketika itu telah bersentuhan dengan peradaban Persia dan Bizantium. Oleh karena itu, Muawiyyah juga bermaksud meniru suksesi kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium, yaitu Monarki (kerajaan).

Akan tetapi, gelar pemimpin pusat tidak di sebut raja (malik), mereka tetap menggunakan gelar khalifah dengan makna konotatif yang di perbaharui.

Pada zaman khalifah empat, khalifah (pengganti) yang dimaksudkan adalah khalifah Rasul shalllallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin masyarakat

Langkah awal dalam rangka memperlancar pengankat Yazid sebagai penggantinya adalah menjadikan Yaizid Ibn Muawiyyah sebagi putra mahkota (tahun 53 H).

Penunjukkan Yazid sebagai putra mahkota telah melahirkan reaksi dari masyrakat. Proses terjadi dimasyarakat karena Muawiyyah telah mengubah sistem suksesi peminpin; di samping itu, pengangkatan Yazid sebagai pengganti Muawiyyah berarti telah terjadi pelanggaran perjanjian antara Muawiyyah dengan Hasan Ibn Ali ra.

Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah menolak melakukan bai’at. Akan tetapi, Muawiyyah berhasil memaksa mereka untuk melakukan bai’at. Dua tokoh yang tidak berhasil dipaksa melakukan bai’at adalah Husain Ibn Ali dan Abd Allah Ibn Zuabair.

Ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam akan wafat, Nabi tidak berwasiat apa-apa, baik kepada salah seorang karib, atau kepada sahabat-sahabat yang lain, tentang siapa yang akan jadi Khalifah pengganti Nabi. Persoalan yang besar ini beliau serahkan kepada musyawarah ummat Islam.

Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ada pernah mewasiatkan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra: “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)

Setelah Nabi wafat, berkumpullah orang Muhajirin dan Anshar di Madinah, guna bermusyawarah siapa yang akan dibaiat (diakui) jadi Khalifah. Orang Anshar menghendaki agar Khalifah itu dipilih dari golongan mereka, mereka mengajukan Sa’ad bin Ubadah. Kehendak orang Anshar ini tidak disetujui oleh orang Muhajirin. Maka terjadilah perdebatan diantara keduanya, dan hampir terjadi fitnah diantara keduanya.

Abu Bakar segera berdiri dan berpidato menyatakan dengan alasan yang kuat dan tepat, bahwa soal Khalifah itu adalah hak bagi kaum Quraisy, bahwa kaum Muhajirin telah lebih dahulu masuk Islam, mereka lebih lama bersama bersama Rasulullah, dalam Al-Qur’an selalu didahulukan Muhajirin kemudian Anshar.

Khutbah Abu Bakar ini dikenal dengan Khutbah Hari Tsaqifah, setelah khutbah ini ummat Islam serta merta membai’at Abu Bakar, didahului oleh Umar bin Khattab, kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain.

Adapun Abu Bakar Siddiq adalah sahabat nabi yang tertua yang amat luas pengalamannya dan amat besar ghirahnya kepada agama Islam. Dia adalah seorang bangsawan Quraisy, berkedudukan tinggi dalam kaumnya, hartawan dan dermawan. Jabatannya dikala Nabi masih hidup, selain dari seorang saudagar yang kaya, diapun seorang ahli nasab Arab dan ahli hukum yang jujur. Dialah yang menemani Nabi ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Dia telah merasakan pahit getirnya hidup bersama Rasulullah sampai kepada hari wafat beliau. Dialah yang diserahi nabi menjadi imam sembahyang ketika beliau sakit. Oleh karena itu, ummat Islam memandang dia lebih berhak dan utama menjadi Khalifah dari yang lainnya.

Jelaslah apa yang telah dicontohkan oleh para Sahabat bahwa pemilihan berdasarkan permusyawarahan dan diwakili oleh orang-orang berkompeten untuk memilih atau yang disebut ahlu a-halli wa al-‘aqdi

Begitu pula yang dimaksud oleh ulama-ulama kita dahulu yang ikut mendirikan negara kita dalam menetapkan sila ke 4 dari Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang berkompeten dan dipercayai untuk melaksanakan musyawarah untuk suatu mufakat. Namun dalam perkembangannya di negara kita, orang-orang kemudian merubahnya menjadi demokrasi sebebas-bebasnya, tidak ada bedanya antara pemilih yang jahat dengan pemilih yang baik, (semua satu suara) dalam menetapkan Presiden dan Wakil presiden, Kepala Pemerintahan Daerah seperti Gubernur dan Bupati.

Firmah Allah ta’ala yang artinya,

” Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 )

Seluruh pemimpin jama’atul minal muslimin yang ada dalam suatu negara/wilayah/pemerintahan kemudian membentuk ahlul halli wal ‘aqdi atau perwakilan tingkat negara/wilayah/pemerintahan yang menunjuk seorang pemimpin sebagai pemimpin negara/wilayah/pemerintahan atau penguasa atau yang kita kenal sebagai umara.

Dalam penunjukkan pemimpin tidak berdasarkan ras, suku bangsa, kaum, atau keturunan namun berdasarkan ketaatan kepada Allah dan RasulNya serta kompetensi kepemimpinan negara sebagaiman yang ditauladankan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Sedangkan pada kaum Syiah, pemimpin mesti dari keturunan Fatimah, baik dari garis keturunan Hasan ataupun Husein. Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Isma’ilyah hanya mengakui pemimpin yang berasal dari garis keturunan Husein saja. Oleh karena itu pemimpin negara yang berasal dari keturunan Hasan tidak sah bagi keduanya. Tentunya ini masalah yang pelik dalam pemikiran politik Syi’ah, sehingga menjadi sengketa dan perseteruan utama antara mereka untuk merebut kekuasaan, dengan cara saling memfasikkan dan mengkafirkan satu sama lain hanya karena perbedaan garis keturunan ini.

Namun pada kenyataannya, yang memotivasi Syi’ah Imamiyah dan Isma’iliyah untuk membatasi kelayakan pimpinan dari garis keturunan Husein saja disebabkan karena Imam Hasan mengundurkan diri dari suksesi yang terjadi antara dia dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dalam sukesesi tersebut, Imam Hasan menyerahkan bulat-bulat tongkat kepemimpinan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan tanpa dilakukan pemilihan. Karena peristiwa inilah yang menjadikan Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Isma’iliyah tidak memberikan kesempatan kepada garis keturunan Imam Hasan untuk menjadi pemimpin. Dan dengan peristiwa ini pulalah Syi’ah Isma’ilyah memunculkan teori politik baru yang tidak dikenal sebelumnya oleh aliran Syi’ah lain, yaitu: Imam tetap (al-Imam al-Mustaqir) dan Imam sementara (al-Imam al-Mustauda’). Tujuan teori ini untuk menutupi kekosongan pimpinan dari garis keturunan Imam Ali ra. yang timbul akibat terdapat kecacatan pada urutan suksesi dalam serangkaian imam. Oleh karena itu, dalam asumsi Syi’ah Isma’iliyah Imam Hasan adalah imam sementara sebab ia melepaskan jabatannya.

Syi’ah Zaidiyah mayoritas berpendapat bahwa imam itu tidak suci (ma’shum) tidak seperti Nabi shallallahu alaihi wasallam yang memiliki sifat ma’shum. Dan ini berbeda dengan ideologi Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Isma’iliyah yang menegaskan bahwa keseluruhan Imam-Imam Sy’iah suci (ma’shum) dari segala perbuatan dosa kecil ataupun besar, baik yang tersurat ataupun yang tersirat, sengaja atau tidak disengaja. Dan juga mereka harus terbebas dari kesalahan bahkan kelupaan dan kelalaian.

Syi’ah Zaidiyah mensyaratkan keabsahan seorang imam melalui revolusi (al-Khuruj) atau boleh kita istilahkan “revolusi pedang”. Revolusi ini melambangkan perjuangan politik Syi’ah Zaidiyah dengan ketegaran dan ketegasan serta penuh keterbukaan. Berbeda dengan aliran Syi’ah lain, – seperti Imamiyah dan Ismaíliyah- di mana perjuangan mereka dengan cara tersembunyi dan terselubung, atau dikenal dengan konsep (Taqiyyah). Dengan sistem revolusi ini, Syiáh Zaidiyah tidak menjadikan Imam Ali bin al-Husein alias Zainal Abidin masuk dalam rangkaian Imam. Sementara Syiáh Imamiyah dan Ismaílyah menjadikan Ali bin al-Hesein sebagai bagian dari silsilah imam mereka.

Konsep revolusi ini telah dirumuskan oleh pendiri Zaidiyah yaitu Imam Zaid, dan sekaligus diaplikasikan dalam kepemimpinannya sendiri untuk memberontak terhadap ketidakadiklan yang berlaku. Maka ia melancarkan revolusi politik terhadap pengusasa ketika itu, meskipun tindakan revolusi tersebut tidak mendapatkan support dari pihak keluarganya, seperti saudara kandungnya Muhammad Baqir, dan Muhammad bin al-Hanafiah. Kedua-duanya menasehati Imam Zaid mengenai bahaya yang akan dihadapinya bila ia meneruskan revolusi tersebut. Namun ia menolak nasehat tersebut, dan pergi ke luar untuk memberikan contoh kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Tindakan ini mendapatkan reaksi berat dari Syiáh Imamiyah dan Syiáh Ismíliyah. Lalu mereka mengkritisi segala bentuk tindakan revolusi yang dikukan oleh para pengikut Imam Zaid setelah kematiannya.

Dapat dilihat, bahwa sikap revolusioner yang dilakukan oleh golongan Syiáh Zaidiyah dengan sendirinya menunjukkan bahwa seorang pemimpin atau kepala negara bukannya orang yang suci (Ma’shum) dan layak dikultuskan, yang tidak terlepas dari kesalahan dan dosa. Sementara bagi Syiáh Imamiyah dan Syiáh Ismaíliyah malah sebaliknya, Imam adalah simbol kesucian (Ma’shum). Maka sistem politik dan pemerintahan mereka dikenal dengan sistem Teokratis. Dan sistem ini telah dikenal sejak zaman mesir kuno, Yunani dan Rumania. Di mana seorang pemimpin negara dimata rakyat meruapakan simbol agama dan dunia sekaligus. Oleh karena itu, bentuk pemerintahan dibungkus dengan keagamaan yang terpatri dalam diri seorang raja. Ia dijadikan sebagai kekuasaan absolut yang tidak boleh dipertanyakan dalam bentuk apa pun. Tidak peduli apakah raja tersebut berlaku adil ataupun tidak. Apakah dia bijak,baik atau jahat. Kesemuanya tidak menjadi masalah, sebab keputusan yang dibuatnya menurut asumsi mereka adalah keputusan Ilahi semata. Dan konsep tersebut diadopsi oleh beberapa sistem pemerintahan yang mengaku diri Islam, dalam istilah yang dikenal dengan sistem “Teokrasi”. Padahal agama Islam sendiri tidak demikian sistemnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah ta’ala,

لْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوْحَى إِلَيَّ أنََمَا إَلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيْمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِيْنَ

Yang artinya:

“Katakanlah:”Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya“ (QS (Fushshilat [41]:6)

Namun sangat disayangkan, penetrasi sistem Teokrasi ini lebih dalam daripada penetrasi sistem agama Islam.

Syiáh Zaidiyah membolehkan adanya dua pemimpin utama dalam masa dan waktu yang sama. Hal ini dibolehkan karena sesuai dengan keperluan zaman. Yaitu meluasnya daerah kekuasaan Islam yang terbentang ketika itu dari wilayah Samarqand sampai Spanyol dan selatan Prancis. Dan pandangan ini berlawanan dengan Syiáh Imamiyah dan Syiáh Isma’ilyah. Karena mereka hanya membolehkan adanya satu Imam dalam setiap masa.

Tampak jelas keunikan sistem politik Syiáh Zaidiyah dibandingkan aliran Syiáh imamiyah dan Syi’ah Ismaíliyah. Di mana pengangkatan seorang Imam dilakukan dengan jalan suksesi, yang dalam era politik sekarang dikenal dengan sistem “demokrasi”, yang dilandaskan atas konsep revolusi (al-Khuruj). Hal ini yang memotivasi Syíah Zaidiyah menolak “Taqiyyah,” yaitu perinsip perjuangan politik Syiáh Imamiyah dan Syi’’ah Ismaíliyah yang terselubung dan sembunyi.

Tercatat dalam sejarah politik Islam, Syiáh dari berbagai aliran dan sektenya selalu menjadi partai oposisi, akan tetapi metode yang digunakan oleh masing-masing aliran tersebut bervariasi antara satu sama lain. Syi’ah Zaidiyah memilih oposisi dengan caranya sendiri, yaitu dengan secara nyata dan terang. Namun aliran Syiáh Imamiyah dan Syiáh isma’iliyah lebih memilih berjuang secara rahasia melalui konsepnya “at-Taqiyyah”.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukannya mengkhawatirkan umatnya berbuat syirik sebagaimana yang dikhawatirkan Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya namun beliau lebih mengkhawatirkan umatnya egois, individualis dan berlomba-lomba dengan kekayaan bumi, harta dunia dan kekuasaan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku lebih dahulu wafat daripada kalian, dan aku menjadi saksi atas kalian, dan aku demi Allah, sungguh aku melihat telagaku sekarang, dan aku diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi atau kunci-kunci bumi, demi Allah, saya tidak mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik sepeninggalku, namun yang aku khawatirkan atas kalian adalah kalian berlomba-lomba mendapatkannya.” (HR Bukhari 6102)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku lebih dahulu wafat daripada kalian, dan aku menjadi saksi atas kalian, dan aku demi Allah, sungguh telah melihat telagaku sekarang, dan aku diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi atau kunci-kunci bumi. Demi Allah, saya tidak mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik sepeninggalku, namun yang justru aku khawatirkan atas kalian adalah kalian bersaing terhadap kekayaan-kekayaan bumi.” (HR Bukhari 5946)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku mendahului kalian ke telaga. Lebar telaga itu sejauh antara Ailah ke Juhfah. Aku tidak khawatir bahwa kalian akan kembali musyrik sepeninggalku. Tetapi yang aku takutkan ialah kamu terpengaruh oleh dunia. Kalian berlomba-lomba untuk mendapatkannya kemudian berbunuh-bunuhan, dan akhirnya kalian musnah seperti kemusnahan umat sebelum kalian”. (HR Muslim 4249)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sungguh demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan dari kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian adalah bila kalian telah dibukakan (harta) dunia sebagaimana telah dibukakan kepada orang-orang sebelum kalian lalu kalian berlomba-loba untuk memperebutkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba memperebutkannya sehingga harta dunia itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR Bukhari 2924)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum Anshar, “sepeninggalku nanti, akan kalian jumpai sikap atsarah (sikap egoism, individualisme, orang yang mementingkan dirinya sendiri dan kelompok). Maka bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku dan tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah telaga al-Haudl (di surga)” . (HR Bukhari 350)

Bagi keselamatan di akhirat kelak, marilah kita taat kepada Allah dan RasulNya. Jauhilah apa yang telah dilarangNya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).

Dalam menghadapi manusia yang telah bersyahadat berpeganglah dengan apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Rasulullah bertanya lagi: Sudahkah kamu membelah dadanya sehingga kamu tahu dia benar-benar mengucapkan Kalimah Syahadat atau tidak? Rasulullah terus mengulangi pertanyaan itu kepadaku hingga menyebabkan aku berandai-andai bahwa aku baru masuk Islam saat itu. (HR Muslim 140)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Apakah kamu yang telah membunuhnya? ‘ Dia menjawabnya, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia datang (untuk minta pertanggung jawaban) pada hari kiamat nanti? ‘ (HR Muslim 142)



Wassalam

Ayat orang kafir

Penyerangan dengan ayat ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir



Sekte atau firqoh yang mengikuti pemahaman seorang ulama yang telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) disebut khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar

Khawarij dengan mudah menuduh seorang muslim, bahkan sekaliber Sayyidina Ali kw , Mu’awiyah- ‘Amr ibn ‘Ash-Abu Musa al-Asy’ari, bahkan Utsman ra dan Aisyah ra dihukumi kafir dan murtad.

Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sohih Bukhari jilid:4 halaman:197].

Merekapun sangat mudah menuduh seorang muslim bahkan Ulama yg Tafaqquh fid din sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran (takfir).

Kaum khawarij adalah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim Al Najdi, yang dapat kita ketahui berdasarkan hadits-hadits seperti

Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman bahwa Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. Kemudian ‘Umar berkata; Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan). (HR Bukhari 3341)

Telah menceritakan kepada kami Hannad bin As Sari telah menceritakan kepada kami Abul Ahwash dari Sa’id bin Masruq dari Abdurrahman bin Abu Nu’m dari Abu Sa’id Al Khudri ia berkata; Ketika Ali bin Abi Thalib berada di Yaman, dia pernah mengirimkan emas yang masih kotor kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu emas itu dibagi-bagikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada empat kelompok. Yaitu kepada Aqra` bin Habis Al Hanzhali, Uyainah bin Badar Al Fazari, Alqamah bin Ulatsah Al Amiri, termasuk Bani Kilab dan Zaid Al Khair Ath Thay dan salah satu Bani Nabhan. Abu Sa’id berkata; Orang-orang Quraisy marah dengan adanya pembagian itu. kata mereka, Kenapa pemimpin-pemimpin Najd yang diberi pembagian oleh Rasulullah, dan kita tidak dibaginya? maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun menjawab: Sesungguhnya aku lakukan yang demikian itu, untuk membujuk hati mereka. Sementara itu, datanglah laki-laki berjenggot tebal, pelipis menonjol, mata cekung, dahi menjorok dan kepalanya digundul. Ia berkata, Wahai Muhammad! Takutlah Anda kepada Allah! Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Siapa pulakah lagi yang akan mentaati Allah, jika aku sendiri telah mendurhakai-Nya? Allah memberikan ketenangan bagiku atas semua penduduk bumi, maka apakah kamu tidak mau memberikan ketenangan bagiku? Abu Sa’id berkata; Setelah orang itu berlaku, maka seorang sahabat (Khalid bin Al Walid) meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk membunuh orang itu. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad. (HR Muslim 1762)

Semasa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memang belum terjadi fitnah dikarenakan orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah. Sebab, saat para Sahabat ingin memerangi mereka, oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dicegah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tahu di belakangnya ada teman-teman mereka yang sifatnya sama. Sangat mungkin saat temannya dianiaya, mereka akan mengobarkan perang melawan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Sahabatnya. Padahal, mereka bukan orang “kafir” karena shalat, shaum, dan ritual mereka boleh dikatakan di atas rata-rata orang kebanyakan. Tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang akan merusak Islam.

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi pulalah yang karena kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani menghardik Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagaimana yang diketahui dari hadits di atas dan berani menghardik Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah berhukum dengan thagut, berhukum dengan selain hukum Allah.

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi pulalah yang karena kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga sampai membunuh Sayyidina Ali ra

Abdurrahman ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena bacaannya yang baik itu, pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash. Namun, karena ilmunya yang dangkal (pemahamannya tidak melampaui tenggorokannya) , sesampai di Mesir ia malah terpangaruh oleh hasutan (gahzwul fikri) orang-orang Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan memilih bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali ra.

Orang-orang serupa Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi , mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan muncul suatu sekte/firqoh/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya”. (HR Muslim 1773)

Orang-orang serupa Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi yakni anak-anak muda yang belum memahami agama dengan baik, mereka seringkali mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka. Padahal kualitas iman mereka sedikitpun tidak melampaui kerongkongan mereka.

Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata; Sungguh, aku terjatuh dari langit lebih aku sukai dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan jika aku sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah) bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam pemahaman (lemah pemahaman atau sering salah pahaman). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah, maksudnya suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits)) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)

Jadi orang-orang serupa Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi adalah orang-orang yang merasa paling benar sehingga berani menghardik Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, berani menghardik. melaknat, membenci Sayyidina Ali ra dan keturunannya atau dengan kata lain mereka yang membenci para ulama yang sholeh dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang disebut dengan kaum Nashibi (An-Nawaashib mufradnya naashib) serta mereka yang berani menghardik atau membenci para ulama yang sholeh yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari Imam Mazhab yang empat yang bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh yang meriwayatkan dan mengikuti sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam atau yang disebut mereka yang anti mazhab



Wassalam

Sebagai alat legitimasi

Alat legitimasi bagi Yerusalem sebagai ibukota Israel



Salah satu episode sejarah keemasan Turki saat dipimpin oleh Khalifah Sultan Abdul Hamid II di awal abad ke-20.

Saat itu Theodore Hertzl, pemimpin Gerakan Zionis Internasional, mendatangi Abdul Hamid untuk meminta agar Turki Utsmani mau membagi sebagian tanah Palestina untuk dijadikan negara Israel. Permintaan Hertzl ini disertai dengan bujuk rayu dan janji, jika keinginannya dituruti maka Turki dan juga Sultan Abdul Hamid II akan diberi hadiah sangat besar oleh gerakan Zionis Internasional.

Namun dengan sikap tegas Abdul Hamid mengusir Hertzl seraya berkata, “Turki tidak akan pernah sekali pun menyerahkan Tanah Palestina kepada kamu hai orang-orang Yahudi. Tanah Palestina bukanlah milik Turki, melainkan milik seluruh umat Islam dunia. Jangan bermimpi bisa menginjak Tanah Palestina selama saya masih hidup!”

Sebaliknya kerajaan dinasti Saudi didirikan karena tidak mengklaim Palestina atau dengan kata lain didirikan karena “menyerahkan” Palestina kepada kaum yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla yakni kaum Zionis Yahudi

Berikuti kami kutipkan dari buku berjudul “Api Sejarah”, karya Ahmad Mansur Suryanegara yang diterbitkan Salamadani Pustaka Semesta, cetakan I Juli 2009 pada halaman 167.

***** awal kutipan *****

Gerakan Zionisme dalam gerakan politiknya ada dua langkah kerjasama yakni

1. Di Turki, dengan mendukung Kemal Pasha (Yahudi) menumbangkan kesultanan Turki, 1924 M untuk membebaskan Palestina dari kesultanan Turki

2. Di Arabia, bekerjasama dengan Raja Ibnu Saud , sekte Wahhabi.

Kerajaan Protestan Anglikan, Inggris berhasil menumbangkan kerajaan Arabia dari kekuasaan Raja Husein ataupun putra Raja Ali, Ahlus sunnah wal Jama’ah yang mengklaim batas wilayah Arabia meliputi Palestina dan Syiria bekas wilayah kekuasaan kesultanan Turki. Klaim atas kedua wilayah tersebut menjadikan Raja Husein dan putranya Raja Ali, dimakzulkan. Kemudian, kedua raja tersebut minta suaka di Cyprus dan Irak.

Kelanjutan dari kerjasama tersebut, Kerajaan Protestan Anglikan Inggris mengakui Abdul Aziz bin Saudi (sekte Wahabi) sebagai raja Kerajaan Saudi Arabia yang tidak mengklaim wilayah Palestina dan Syria sebagai wilayah Saudi Arabia.

Keberhasilan kedua kerjasama ini, memungkinkan berdirinya negara Israel, sesudah perang dunia II, 1939-1945M, tepatnya 15 Mei 1948

***** akhir kutipan *****

Dengan kerajaan dinasti Saudi menjadikan Amerika yang merupakan rerpresentatif kaum Zionis Yahudi sebagai “teman kepercayaan”, penasehat, pelindung, pemimpin berakibat menjadikan mereka sebagai alat legitimasi keberadaan negara Israel.

Hal ini dapat kita lihat dari dukungan kerajaan dinasti Saudi terhadap Amerika dalam melemahkan negara-negara Timur Tengah yang dapat mengganggu keberadaan negara Israel atau mengganggu hajat untuk menjadikan Yerusalem sebagai ibukota Israel.

Dalam tulisannya di New York Daily News, Bakal Calon Presiden Amerika Serikat (AS) Rick Santorum menegaskan, “Yerusalem adalah Ibu Kota Israel“.

“Sungguh pengalaman yang menyentuh berada di Yerusalem, ibukota Israel“, kata Mitt Romney capres Republik pada awal pidatonya di Yerusalem

Dr. Joserizal Jurnalis Relawan Medis MER-C dalam jurnalnya pada http://www.mer-c.org/index.php/Misi-MER-C/kenapa-suriah.html menuliskan

***** awal kutipan ******

Suriah adalah negara dengan jumlah penduduk 22.517.750 orang (estimasi 2010). Komposisi penduduknya berdasarkan agama adalah Muslim Sunni 74%, Muslim Alawi-Syiah-Druze 16%, Kristen 10%, dll.

Presiden Suriah sekarang adalah Bashar Assad yang menggantikan bapaknya, Hafesz Assad, seorang Marsekal. Hafesz Assad adalah pemimpin Suriah yang keras dan diktator. Bersama saudaranya Rifyad Assad, mereka membawa Suriah melalui masa-masa sulit terutama dalam perang 6 hari tahun 1967. Hafesz berhasil menangkap Ellie Cohen seorang mata-mata Israel yang menyusup ke pemerintah Suriah sampai menjadi teman dekat Hafesz. Hafesz kemudian menggantung Ellie Cohen walaupun dia diprotes banyak negara. Hafesz juga memberangus Ikhwanul Muslimin, banyak korban berjatuhan karenanya.

Namun di sisi lain dia juga mau menerima Hamas berkantor di Damaskus ketika negara-negara Arab tidak mau menerima mereka membuka perwakilan. Hafesz banyak menampung pengungsi Palestina, salah satu kamp yang pernah penulis bersama relawan MER-C kunjungi adalah kamp Yarmuk.

Bashar jauh lebih lembut dari bapaknya karena dia orang sipil (dokter mata?). Kesalahan Bashar adalah track-record keluarganya yang keras dan diktator, tidak transparan soal keuangan negara dan belum mengembangkan proses demokrasi di negaranya. Tapi kelebihannya, dia kommit terhadap perjuangan rakyat Palestina dengan menyediakan tempat buat Hamas di Suriah dan mendukung penuh Hizbullah. Hamas (Sunni) dan Hizbullah (Syiah) DIDUKUNG PENUH oleh Bashar karena mereka adalah kelompok perlawanan (muqowwamah) terhadap Israel.

Penulis bersama relawan MER-C pada saat berkunjung ke Lebanon saat-saat akhir perang 34 hari tahun 2006, menyaksikan bahwa kantor Hamas berada di kompleks Hizbullah yang hancur dihajar Israel saat perang 34 hari tahun 2006. Ini sengaja penulis kemukakan untuk MEMBANTAH bahwa Hizbullah PURA-PURA kerjasama dengan Hamas. Hizbullah berhasil mengalahkan Israel dalam perang darat tersebut.

Saat ini yang jelas melakukan perlawanan BERSENJATA di Timur Tengah terhadap Israel adalah Hamas dan Hizbullah. Penulis bersama relawan MER-C sempat menyaksikan dua pertempuran dahsyat dua kelompok ini melawan Israel. Penulis bersama relawan MER-C masuk ke Gaza saat Israel menyerang Gaza dengan dahsyatnya, 1-2 hari sebelum gencatan senjata. Dalam pertempuran ini, tepatnya 27 Desember 2009 sampai 18-19 Januari 2010, Hamas berhasil menahan laju serangan darat Israel bahkan mengalahkannya.

Israel sangat serius memandang ancaman kedua kelompok perlawanan ini karena secara kekuatan mereka bukan negara tapi dapat mengimbangi bahkan mengalahkan Israel ketika Israel mulai melakukan serangan darat.

Tentu Israel harus memikirkan bagaimana caranya melumpuhkan kedua kelompok perlawan bersenjata ini. Untuk Hamas, Israel melakukan kebijakan blokade Gaza karena Hamas memerintah di sini dan terus melakukannya sampai saat ini.

Untuk melumpuhkan Hizbullah, secara logika yang mudah saja, PUTUS JALUR PENDUKUNGnya. Jalur pendukung tersebut adalah SURIAH. Oleh sebab itu Suriah harus dikuasai secara politik, yaitu GANTI PENGUASANYA !!

Saat ini di dunia Arab sedang ada trend mengganti penguasa yang sudah lama berkuasa dalam suatu gerakan Arab Spring dengan dalih untuk menegakkan demokrasi.

Ini adalah road map-nya kebijakan luar negeri Amerika. Kita tahu kebijakan luar negeri AS ditentukan oleh badan-badan lobby Israel (AIPAC, ADL, CFR, RAND COORPORATION, Bilderberg dll).

Dari penguasa yang sudah tumbang dan yang sedang diusahakan tumbang, QADAFI dan BASHAR mempunyai KONTRIBUSI BESAR untuk Palestina. Penulis menyaksikan sendiri bantuan Qaddafi bertruk-truk antri di Raffah Mesir saat Gaza diserang Israel tahun 2009.

Rencana penurunan Bashar ini semata-mata bukan persoalan Bashar demokratis atau tidak dan tiran atau tidak, karena ada penguasa Arab seperti ini tidak disuruh turun oleh AS, malah diajak kerjasama oleh AS utk menurunkan Qaddafi dan Bashar. Israel menginginkan Bashar TURUN !! Seperti biasa Israel memperalat Amerika Serikat melalui kebijakan luar negerinya.

Bersamaan dengan semangat Arab Spring, Israel dan AS menunggangi isu ini utk menurunkan Bashar. Supaya lebih efektif isu ini ditambah tonasenya dengan isu sektarian, konflik Sunni-Syiah sama seperti Qaddafi yang disebut inkar sunnah.

Israel, AS, Arab Saudi, Qatar, Turki dan Eropa berada dalam satu blok melawan Rusia, Cina dan Iran dalam konflik Suriah ini.

Rusia sangat berkepentingan melawan dominasi AS di Timur Tengah karena tinggal Suriah tempat berpijak Rusia setelah Libya jatuh ke tangan Barat. Selain itu AS juga mengacak-acak Rusia dengan cara meletakkan perimeter anti rudalnya di bekas negara Uni Soviet seperti Georgia.

Cina tidak mau ketinggalan dalam melawan AS. Setelah berhasil menahan hegemoni AS dibidang ekonomi, Cina diancam oleh AS melalui pergerakan Angkatan Laut AS di Pasifik. Cina saat ini berhasil menciptakan kapal perang anti radar yang membuat AS khawatir.

Iran adalah negara yang tidak disenangi oleh Saudi Arabia, Qatar dan negara Arab lainnya karena berhasil melakukan REVOLUSI 79 menumbangkan Raja Reza Pahlevi yang juga sahabat penguasa Saudi Arabia. Para raja-raja khawatir revolusi tersebut diekspor ke negara-negara mereka. Salah satu cara untuk mempertahankan kekuasaan mereka, isu yang paling ampuh ditiupkan adalah Iran adalah negara SYIAH bukan negara Islam karena Syiah SESAT.

***** akhir kutipan *****



Wassalam

Takut padaNya

Pengertian takut kepada Allah ta’ala

Mereka adalah produk atau hasil pengajaran para ulama korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi

Salah satu contoh penghasutnya adalah perwira Yahudi Inggris bernama Edward Terrence Lawrence yang dikenal oleh ulama jazirah Arab sebagai Laurens Of Arabian. Laurens menyelidiki dimana letak kekuatan umat Islam dan berkesimpulan bahwa kekuatan umat Islam terletak kepada ketaatan dengan mazhab (bermazhab) dan istiqomah mengikuti tharikat-tharikat tasawuf.

Laurens mengupah ulama-ulama yang anti tharikat dan anti mazhab untuk menulis buku buku yang menyerang tharikat dan mazhab. Buku tersebut diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa dan dibiayai oleh pihak orientalis.

Contoh yang terkenal adalah penyalahgunaan perkataan Imam Syafi’i ra yang dikutip dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi yakni ungkapan “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.” Penjelasan perkataan Imam Syafi’i ra tersebut telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/06/apakah-tasawuf/

Silahkan periksa kurikulum atau silabus pada perguruan tinggi Islam maka tasawuf adalah tentang ihsan atau tentang akhlak

Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak & Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan dahulu di pesantren, pendidikan akhlak diajarkan bukan hanya level teoritis, tetapi praktis, sehari-hari, membentuk sub-kultur yang berbeda dengan hedonisme masyarakat luar pesantren.

Pendidikan akhlak (tasawuf) terlembaga, tidak dalam kurikulum formal, tetapi dalam tradisi wirid, keberanian mengutamakan motivasi keilahian diatas tarikan ego, menjadikan standar minimalis bagi materi, dan maksimalis bagi spiritualitas. Dan setelah itu, tidak perlu nilai : C, untuk mata pelajaran akhlak.

Pendidikan akhlak (tasawuf) merupakan dilema, antara jauhnya standar akhlak menurut kualitas hidup sufi, dengan angkuh sistem pendidikan. Dilema sistemik ini dipersedih oleh fakta bahwa para gurupun ternyata jauh dari standar akhlak, dalam sebuah ruang kelas, dimana para murid hanya mencari coretan nilai, atau sebatas titik absensi. Selengkapnya telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/

Pada hakikatnya upaya kaum Zionis Yahudi menjauhkan kaum muslim dari tasawuf adalah dalam rangka merusak akhlak kaum muslim sebagaimana mereka menyebarluaskan pornografi, gaya hidup bebas, liberalisme, sekulerisme, pluralisme, hedonisme dan lain lain.

Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)

Imam Sayyidina Ali ra berpesan, “Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan akhlak mulia sebagai perantara antara Dia dan hambaNya. Oleh karena itu,berpeganglah pada akhlak, yang langsung menghubungkan anda kepada Allah”

Berikut kami kutipkan contoh apa yang mereka pahami dari potongan-potongan perkataan atau tulisan para ulama Sufi.

****** awal kutipan ******

An-Nafzi Ar-Randi dan Abu Thalib Al-Makki meriwayatkan dari Abu Hazim Al-Madani yang berkata:

“Aku malu kepada Tuhanku jika aku menyembah-Nya karena takut siksa. Kalau begitu, aku seperti orang jahat yang jika tidak takut, maka ia tidak akan… beramal. Aku juga malu kepada-Nya jika aku menyembah-Nya karena mengharap pahala-Nya, karena jika aku menyembah-Nya karena mengharap pahala-Nya maka dengan cara seperti itu aku seperti buruh yang jahat yang jika tidak diberi gaji maka ia tidak mau bekerja, namun aku menyembah-Nya karena cinta kepada-Nya.” (Ghautsu Al-Mawahibi Al-Aliyyati, AN-Nafzi Ar-Randi, Jilid I, hal. 242. Juga Qutu Al-Qulubi, Abu Thalib Al-Makki, Jilid II, hal. 56).

Muhammad bin Sa’id Az-Zanji pernah ditanya, siapa sebenarnya yang dinamakan ORANG HINA itu? Ia menjawab, Yaitu orang yang menyembah Allah karena takut dan berharap.” (Nafahatu Al-Unsi, Al-Jami, hal. 38)

[Semua perkataan di atas dikutip dari kitab Dirasat fi At-Tasawuf, Dr. Ihsan Ilahi Dhahir, Edisi Indonesia Darah Hitam Tasawuf, penerbit Darul Falah, Jakarta]

Perhatikan ini, wahai para sufi, siapakah orang yang dikatakan HINA oleh kalian itu…

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Aku adalah orang yang PALING TAHU di antara kalian tentang Allah, karena itu aku adalah orang yang PALING TAKUT di antara kalian kepada-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

****** akhir kutipan ******

Dalam memahami perkataan atau tulisan para ulama Sufi sebaiknya mempergunakan ilmu Balaghoh karena apa yang mereka sampaikan adalah ungkapan kedekatan mereka kepada Allah ta’ala yang kadang dengan bahasa tulisan atau lisan sulit untuk diungkapkan.

Perhatikan kutipan yang dipermasalahkan oleh mereka

Muhammad bin Sa’id Az-Zanji pernah ditanya, siapa sebenarnya yang dinamakan ORANG HINA itu? Ia menjawab, Yaitu orang yang menyembah Allah karena takut dan berharap.” (Nafahatu Al-Unsi, Al-Jami, hal. 38)

Apakah kita tidak merasa hina di hadapan Allah?

Apakah yang dapat kita banggakan di hadapan Allah Azza wa Jalla?

Imam Sayyidina Ali ra berkata, “Saya heran terhadap orang yang sombong. Padahal dia berasal dari air yang hina dan akan menjadi bangkai. Sombong dapat menghalangi tambahan nikmat. Orang yang menyombongkan diri sendiri, akalnya sudah rusak. Rakus, sombong dan dengki merupakan kendaraan menuju lembah yang dipenuhi dosa”.

Perhatikan ungkapan syaikh Abu Hazim Al-Madani yang dikutip oleh mereka

“Aku malu kepada Tuhanku jika aku menyembah-Nya karena takut siksa. Kalau begitu, aku seperti orang jahat yang jika tidak takut, maka ia tidak akan… beramal. Aku juga malu kepada-Nya jika aku menyembah-Nya karena mengharap pahala-Nya, karena jika aku menyembah-Nya karena mengharap pahala-Nya maka dengan cara seperti itu aku seperti buruh yang jahat yang jika tidak diberi gaji maka ia tidak mau bekerja, namun aku menyembah-Nya karena cinta kepada-Nya.“

Sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “aku adalah orang yang PALING TAKUT di antara kalian kepada-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tidak mengatakan bahwa Beliau menyembah Allah ta’ala karena pahala atau menyembah Allah ta’ala karena takut kepadaNya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sembahlah Allah dengan senang hati. Jika kamu tidak mampu, maka hal yang terbaik bagimu adalah bersikap sabar menghadapi nasib yang tidak kamu sukai.“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah manusia yang paling mencintai Allah ta’ala. Beliau menyembah Allah ta’ala karena mencintaiNya dan Allah ta’ala paling mencintai Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Oleh karenanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam paling takut kepada Allah ta’ala yakni takut untuk melakukan sesuatu yang dibenciNya atau yang dimurkaiNya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah manusia yang paling mulia, paling dekat dengan Allah ta’ala. Bersama beliau adalah kaum muslim yang telah meraih maqom (derajat) disisiNya yakni kaum muslim yang mendapatkan nikmat dari Allah ta’ala sehingga selalu berada di jalan yang lurus atau selalu berada dalam kebenaran.

Firman Allah ta’ala yang artinya,

”…Sekiranya kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya, niscaya tidak ada seorangpun dari kamu yang bersih (dari perbuatan keji dan mungkar) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa saja yang dikehendaki…” (QS An-Nuur:21)

“Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik.” (QS Shaad [38]:46-47)

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu” (QS Al Hujuraat [49]:13)

“Tunjukilah kami jalan yang lurus , (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri ni’mat kepada mereka” (QS Al Fatihah [1]:6-7)

“Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu : Nabi-nabi, para shiddiiqiin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang sholeh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya .” (QS An Nisaa [4]: 69)

Muslim yang terbaik bukan nabi yang mendekatkan diri (taqarub) kepada Allah sehingga meraih maqom disisiNya dan menjadi kekasih Allah (wali Allah) adalah shiddiqin, muslim yang membenarkan dan menyaksikan Allah dengan hatinya (ain bashiroh) atau muslim yang bermakrifat. Bermacam-macam tingkatan shiddiqin sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/01/14/2011/09/28/maqom-wali-allah

Muslim yang bermakrifat atau muslim yang menyaksikan Allah ta’ala dengan hati (ain bashiroh) adalah muslim yang selalu meyakini kehadiranNya, selalu sadar dan ingat kepadaNya.

Imam Qusyairi mengatakan “Asy-Syahid untuk menunjukkan sesuatu yang hadir dalam hati, yaitu sesuatu yang membuatnya selalu sadar dan ingat, sehingga seakan-akan pemilik hati tersebut senantiasa melihat dan menyaksikan-Nya, sekalipun Dia tidak tampak. Setiap apa yang membuat ingatannya menguasai hati seseorang maka dia adalah seorang syahid (penyaksi)”

Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)

Muslim yang ihsan atau muslim yang sholeh adalah mereka yang takut kepada Allah karena mereka selalu yakin diawasi oleh Allah Azza wa Jalla atau mereka yang selalu memandang Allah dengan hatinya (ain bashiroh), setiap akan bersikap atau berbuat sehingga mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah.

Wassalam

As sawad al A’zham

Ikutilah pemahaman mayoritas kaum muslim

Salah satu cara hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi adalah mengupah para ulama untuk membuat tulisan atau buku anti tasawuf yang sebenarnya adalah anti “tentang ihsan” karena tasawuf adalah tentang ihsan atau cara atau jalan untuk mencapai muslim yang ihsan atau muslim yang berakhlakul karimah.

Silahkan periksa kurikulum atau silabus pada perguruan tinggi Islam maka tasawuf adalah tentang ihsan atau tentang akhlak

Ahmad Shodiq, MA-Dosen Akhlak & Tasawuf, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengatakan dahulu di pesantren, pendidikan akhlak diajarkan bukan hanya level teoritis, tetapi praktis, sehari-hari, membentuk sub-kultur yang berbeda dengan hedonisme masyarakat luar pesantren.

Pendidikan akhlak (tasawuf) terlembaga, tidak dalam kurikulum formal, tetapi dalam tradisi wirid, keberanian mengutamakan motivasi keilahian diatas tarikan ego, menjadikan standar minimalis bagi materi, dan maksimalis bagi spiritualitas. Dan setelah itu, tidak perlu nilai : C, untuk mata pelajaran akhlak.

Pendidikan akhlak (tasawuf) merupakan dilema, antara jauhnya standar akhlak menurut kualitas hidup sufi, dengan angkuh sistem pendidikan. Dilema sistemik ini dipersedih oleh fakta bahwa para gurupun ternyata jauh dari standar akhlak, dalam sebuah ruang kelas, dimana para murid hanya mencari coretan nilai, atau sebatas titik absensi. Selengkapnya telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2010/06/07/pendidikan-akhlak/

Cara kaum Zionis Yahudi menghasut atau melancarkan ghazwul fikri (perang pemahaman) adalah memotong-memotong perkataan ulama yang sholeh dan menempatkan bukan pada tempatnya atau menyembunyikan atau mengalihkan maksud atau tujuan perkataan yang sebenarnya.

Contoh yang terkenal adalah penyalahgunaan perkataan Imam Syafi’i ra yang dikutip dari Manaqib Al Imam As Syafi’i yang ditulis oleh Imam Al Baihaqi yakni ungkapan “Jika seorang belajar tasawuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati dia menjadi orang dungu.” Penjelasan perkataan Imam Syafi’i ra tersebut telah disampaikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/06/apakah-tasawuf/

Contoh lain dari hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi adalah upaya untuk mencegah kaum muslim untuk mengikuti pemahaman mayoritas kaum muslim atau as-sawad al a’zham dengan berdalilkan atau berhujjahkan firmanNya yang artinya, “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS Al An’aam [6]:116)

Mereka tidak dapat membedakan antara “menuruti kebanyakan orang-orang di muka bumi ini” dengan “mengikuti pemahaman mayoritas kaum muslim” atau as-sawad al a’zham

Inilah apa yang dikatakan oleh Imam sayyidina Ali ra , “kalimatu haqin urida bihil batil” artinya perkataan yang benar dengan maksud atau tujuan yang salah.

Benar yang mereka sampaikan adalah firman Allah ta’ala namun Allah ta’ala tidak bermaksud melarang manusia mengikuti pemahaman mayoritas kaum muslim atau as-sawad al a’zham. Silahkan perhatikan ayat-ayat sebelum (QS Al An’aam [6]:116) maka akan diketahui bahwa yang dimaksud dengan larangan “menuruti kebanyakan orang-orang dimuka bumi” adalah larangan “menuruti orang-orang musyrik“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (pemahaman mayoritas kaum muslim atau pemahaman jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“إِنَّ اللهَ لَا يُجْمِعُ أُمَّةِ عَلَى ضَلَالَةٍ وَيَدُ اللهِ مَعَ الجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ شَذَّ إِلَى النَّارِ”

“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan, maka ia menyeleweng ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham“.

Jadi yang dilarang justru adalah mengikuti pemahaman segelintir kaum muslim yang pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) yang disebut dengan sekte atau firqoh.

Oleh karenanya hindarilah sekte-sekte atau firqoh yang telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)

Khudzaifah Ibnul Yaman berkata, “Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab “Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita (bahasa Arab). Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu? Nabi menjawab; Hendaklah kamu selalu bersama jamaah muslimin dan imam mereka! Aku bertanya; kalau tidak ada jama’ah muslimin dan imam bagaimana? Nabi menjawab; hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu” (HR Bukhari 6557, HR Muslim 3434)

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”.

Dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jama’ah, karena Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah/sekte. Hindarilah semua firqah/sekte itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.

Setiap orang yang pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah termasuk sekte atau firqoh khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi pulalah yang karena kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani menghardik Rasulullah shalallahu alaihi wasallam

Telah bercerita kepada kami Abu Al Yaman telah mengabarkan kepada kami Syu’aib dari Az Zuhriy berkata, telah mengabarkan kepadaku Abu Salamah bin ‘Abdur Rahman bahwa Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata; Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang sedang membagi-bagikan pembagian(harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata; Wahai Rasulullah, tolong engkau berlaku adil. Maka beliau berkata: Celaka kamu!. Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika aku tidak berbuat adil. Kemudian ‘Umar berkata; Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!. Beliau berkata: Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan). (HR Bukhari 3341)

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi pulalah yang karena kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga berani menghardik Sayyidina Ali bin Abi Thalib telah berhukum dengan thagut, berhukum dengan selain hukum Allah.

Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi pulalah yang karena kesalahpahamannya atau karena pemahamannya telah keluar (kharaja) dari pemahaman mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) sehingga sampai membunuh Sayyidina Ali ra

Abdurrahman ibn Muljam adalah seorang yang sangat rajin beribadah. Shalat dan shaum, baik yang wajib maupun sunnah, melebihi kebiasaan rata-rata orang di zaman itu. Bacaan Al-Qurannya sangat baik. Karena bacaannya yang baik itu, pada masa Sayyidina Umar ibn Khattab ra, ia diutus untuk mengajar Al-Quran ke Mesir atas permintaan gubernur Mesir, Amr ibn Al-’Ash. Namun, karena ilmunya yang dangkal (pemahamannya tidak melampaui tenggorokannya) , sesampai di Mesir ia malah terpangaruh oleh hasutan (gahzwul fikri) orang-orang Khawarij yang selalu berbicara mengatasnamakan Islam, tapi sesungguhnya hawa nafsu yang mereka turuti. Ia pun terpengaruh. Ia tinggalkan tugasnya mengajar dan memilih bergabung dengan orang-orang Khawarij sampai akhirnya, dialah yang ditugasi menjadi eksekutor pembunuhan Imam Sayyidina Ali ra.

Orang-orang serupa Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi , mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akan muncul suatu sekte/firqoh/kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Dimana, bacaan kalian tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula shalat kalian daripada shalat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Shalat mereka tidak sampai melewati batas tenggorokan. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya”. (HR Muslim 1773)

Orang-orang serupa Dzul Khuwaishirah dari Bani Tamim al Najdi yakni anak-anak muda yang belum memahami agama dengan baik, mereka seringkali mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka. Padahal kualitas iman mereka sedikitpun tidak melampaui kerongkongan mereka.

Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata; Sungguh, aku terjatuh dari langit lebih aku sukai dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan jika aku sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah) bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam pemahaman (lemah pemahaman atau sering salah pahaman). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah, maksudnya suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits)) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka. Maka dimana saja kalian menjumpai mereka, bunuhllah mereka karena pembunuhan atas mereka adalah pahala di hari qiyamat bagi siapa yang membunuhnya. (HR Bukhari 3342)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa Ahlul Yaman atau penduduk Yaman cepat menerima kebenaran sedangkan Bani Tamim Al Najdi, orang-orang yang seperti Dzul Khuwaishirah, berwatak keras , mereka membela diri oleh karena mereka muslim maka mereka merasa berhak atas penghidupan yang baik di alam dunia dibandingkan orang kafir sehingga mereka merasa wajar meraih kehidupan ekonomi yang lebih baik bahkan kaya raya.

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim Telah menceritakan kepada kami Sufyan dari Abu Shakhrah dari Shafwan bin Muhriz Al Mazini dari ‘Imran bin Hushain radliallahu ‘anhuma dia berkata; Sekelompok orang dari Bani Tamim datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau bersabda: ‘Terimahlah kabar gembira wahai Bani Tamim.’ Mereka menjawab; ‘Anda telah memberikan kabar gembira kepada kami, oleh karena itu berikanlah sesuatu (harta) kepada kami.’ Maka muka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berubah, tidak lama kemudian serombongan dari penduduk Yaman datang kepada beliau, maka beliau bersabda: Terimalah kabar gembira, karena Bani Tamim tidak mau menerimanya! Mereka berkata; Ya Rasulallah, kami telah menerimanya. (HR Bukhari 4017)

Telah bercerita kepada kami ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyats telah bercerita kepada kami bapakku telah bercerita kepada kami Al A’masy telah bercerita kepada kami Jami bin Syaddad dari Shafwan bin Muhriz bahwa dia bercerita kepadanya dari ‘Imran bin Hushain radliallahu ‘anhuma berkata; Aku datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan untaku aku ikat di depan pintu. Kemudian datang rombongan dari Bani Tamim maka Beliau berkata: Terimalah kabar gembira wahai Bani Tamim. Mereka berkata:; Tuan telah memberikan kabar gembira kepada kami maka itu berilah kami (sesuatu harta) . Mereka mengatakannya dua kali. Kemudian datang orang-orang dari penduduk Yaman menemui Beliau, lalu Beliau berkata: Terimalah kabar gembira, wahai penduduk Yaman, jika Bani Tamim tidak mau menerimanya. Mereka berkata; Kami siap menerimanya, wahai Rasulullah. (HR Bukhari 2953)

Semasa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memang belum terjadi fitnah karena orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah. Sebab, saat para Sahabat ingin memerangi mereka, oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dicegah. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tahu di belakangnya ada teman-teman mereka yang sifatnya sama. Sangat mungkin saat temannya dianiaya, mereka akan mengobarkan perang melawan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan Sahabatnya. Padahal, mereka bukan orang “kafir” karena shalat, shaum, dan ritual mereka boleh dikatakan di atas rata-rata orang kebanyakan. Tidak akan ada yang menyangka bahwa mereka adalah orang-orang yang akan merusak Islam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memilih menjauhkan mereka dari Madinah. Dan mereka memilih tinggal di suatu kampung bernama Haruri. Oleh sebab itu pula, mereka sering disebut kaum Haruriyyah

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menasehatkan bahwa jika terjadi fitnah atau perselisihan karena perbedaan pemahaman atau bagaimana cara kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah jika terjadi perselisihan maka ikutilah ahlul Yaman.

Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’

Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’

Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’

Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah“. Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : “mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman“.

Firman Allah ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)

Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.

Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau berkata, ‘Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang Yaman’.

Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.

Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi’

Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya aku menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman. Masih dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Sebaik-baiknya lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.

Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dann banyak dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab

حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزِّنَادِ عَنْ الْأَعْرَجِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ أَضْعَفُ قُلُوبًا وَأَرَقُّ أَفْئِدَةً الْفِقْهُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ

Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib Telah menceritakan kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang berperasaan dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang Yaman.” (HR Bukhari 4039

و حَدَّثَنِي عَمْرٌو النَّاقِدُ وَحَسَنٌ الْحُلْوَانِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ وَهُوَ ابْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ صَالِحٍ عَنْ الْأَعْرَجِ قَالَ قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاكُمْ أَهْلُ الْيَمَنِ هُمْ أَضْعَفُ قُلُوبًا وَأَرَقُّ أَفْئِدَةً الْفِقْهُ يَمَانٍ وَالْحِكْمَةُ يَمَانِيَةٌ

Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)

Sejak abad 7 H di Hadramaut (Yaman), dengan keluasan ilmu, akhlak yang lembut, dan keberanian, Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra beliau berhasil mengajak para pengikut Khawarij untuk menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf yang mutakbaroh dan bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.

Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya. Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas

Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam di negeri kita diajarkan langsung oleh para ulama keturunan cucu Rasulullah seperti Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati. Berikut kutipan penjelasan Buya Hamka

***** awal kutipan ****

“Rasulallah shallallahu alaihi wasallam mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau shallallahu alaihi wasallam dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf.

Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina. Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.

Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.

Yang terbanyak dari mereka adalah keturunan dari Al-Husain dari Hadramaut (Yaman selatan), ada juga yang keturunan Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka juga dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat sekarang umum- nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.

****** akhir kutipan ******

Wassalam

Siapakah ulama

Siapakah yang dimaksud ulama



Cobalah baca tulisan-tulisan mereka yang mengaku-aku mengikuti pemahaman Salafush Sholeh berikut ini

http://isnad.net/media/Muhammad_Sewed_di_Gugat.pdf
http://isnad.net/?dl_name=kumal-kumal-dzul-akmal.pdf
http://isnad.net/dialog-luqman-hizbi-firanda-sururi
http://isnad.net/?dl_name=dzulqornain_yayasan.rar
http://isnad.net/media/dzul-akmal-undercover.pdf

Mereka adalah para ulama namun coba perhatikan tulisan-tulisan mereka, bagaimana mereka memperlakukan firman Allah Azza wa Jalla maupun Hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam demi kepentingan atau hawa nafsu mereka masing-masing

Ulama adalah ahli ilmu agama. Pada zaman kini dapat kita temukan ulama tetapi tidak mengenal Allah (ma’rifatullah) karena mereka bertambah ilmu tetapi tidak bertambah dekat kepada Allah.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Barangsiapa yang bertambah ilmunya tapi tidak bertambah hidayahnya, maka dia tidak bertambah dekat kepada Allah melainkan bertambah jauh”

Ulama pada hakikatnya adalah muslim yang mengenal Allah (ma’rifatullah) atau muslim yang bermakrifat atau muslim yang ihsan (muhsin)

Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Dia melihatmu.‘ (HR Muslim 11)

Firman Allah ta’ala yang artinya “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama” (QS Al Faathir [35]:28)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Ulama adalah pewaris para nabi.” (HR At-Tirmidzi).

Ulama pewaris Nabi artinya menerima dari ulama-ulama sebelumnya yang tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Asy-Syeikh as-Sayyid Yusuf Bakhour al-Hasani menyampaikan bahwa “maksud dari pengijazahan sanad itu adalah agar kamu menghafazh bukan sekadar untuk meriwayatkan tetapi juga untuk meneladani orang yang kamu mengambil sanad daripadanya, dan orang yang kamu ambil sanadnya itu juga meneladani orang yang di atas di mana dia mengambil sanad daripadanya dan begitulah seterusnya hingga berujung kepada kamu meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dengan demikian, keterjagaan al-Qur’an itu benar-benar sempurna baik secara lafazh, makna dan pengamalan“

Pewaris Nabi artinya menerima dan mengikuti risalah Rasulullah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan baik dan benar secara kaaffah meliputi aqidah (Iman) , ibadah (Islam/syariat) dan akhlaq (Ihsan/tasawuf)

Laki-laki itu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah Islam itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Islam adalah kamu tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, membayar zakat, dan berpuasa Ramadlan.’ Dia berkata, ‘Kamu benar.’ Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah iman itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-Nya, beriman kepada kejadian pertemuan dengan-Nya, beriman kepada para Rasul-Nya, dan kamu beriman kepada hari kebangkitan serta beriman kepada takdir semuanya’. Dia berkata, ‘Kamu benar’. Lalu dia bertanya lagi, ‘Wahai Rasulullah, apakah ihsan itu? ‘ Beliau menjawab, ‘Kamu takut (khasyyah) kepada Allah seakan-akan kamu melihat-Nya (bermakrifat), maka jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu. (HR Muslim 11)

Kelemahan sebagian perguruan-perguruan tinggi Islam pada masa kini adalah santri tidak mendapatkan pengamalan tasawuf (ihsan/akhlak) sehingga tidak melahirkan ulama sejati yang takut kepada Allah.

Perhatikanlah dua buah video pada
http://www.youtube.com/watch?v=hlCdzVo8Ueo
http://www.youtube.com/watch?v=DZdjU2H6hpA

Kedua video tersebut berisikan nasehat dari seorang ulama keturunan cucu Rasulullah terhadap seorang ulama yang anti tasawuf. Dalam nasehat beliau telah berulangkali disampaikan, Ittaqullah, takutlah kepada Allah.

Akhlak yang buruk adalah mereka yang tidak takut kepada Allah atau mereka yang berpaling dari Allah karena mereka memperturutkan hawa nafsu.

Akhlak yang baik adalah mereka yang takut kepada Allah atau mereka selalu memandang Allah setiap akan bersikap atau berbuat.

Imam Malik ~rahimahullah menasehatkan agar kita menjalankan perkara syariat sekaligus menjalankan tasawuf agar tidak menjadi manusia yang rusak (berakhlak tidak baik).

Imam Malik ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) “Dia yang sedang tasawuf tanpa mempelajari fiqih (menjalankan syariat) rusak keimanannya , sementara dia yang belajar fiqih (menjalankan syariat) tanpa mengamalkan Tasawuf rusaklah dia, hanya dia siapa memadukan keduanya terjamin benar“

Begitupula Imam Syafi’i ~rahimahullah menasehatkan kita agar mencapai ke-sholeh-an sebagaimana salaf yang sholeh adalah dengan menjalankan perkara syariat sebagaimana yang mereka sampaikan dalam kitab fiqih sekaligus menjalankan tasawuf untuk mencapai muslim yang baik, muslim yang sholeh, muslim yang berakhlakul karimah atau muslim yang Ihsan

Imam Syafi’i ~rahimahullah menyampaikan nasehat (yang artinya) ,”Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) dan juga menjalani tasawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya. Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat) tapi tidak mau menjalani tasawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan kelezatan takwa. Sedangkan orang yang hanya menjalani tasawuf tapi tidak mau mempelajari ilmu fiqih (menjalani syariat), maka bagaimana bisa dia menjadi baik (ihsan)?” [Diwan Al-Imam Asy-Syafi'i, hal. 47]

Sebelum belajar Tasawuf, Imam Ahmad bin Hambal menegaskan kepada putranya, Abdullah ra. “Hai anakku, hendaknya engkau berpijak pada hadits. Anda harus hati-hati bersama orang-orang yang menamakan dirinya kaum Sufi. Karena kadang diantara mereka sangat bodoh dengan agama.” Namun ketika beliau berguru kepada Abu Hamzah al-Baghdady as-Shufy, dan mengenal perilaku kaum Sufi, tiba-tiba dia berkata pada putranya “Hai anakku hendaknya engkau bermajlis dengan para Sufi, karena mereka bisa memberikan tambahan bekal pada kita, melalui ilmu yang banyak, muroqobah, rasa takut kepada Allah, zuhud dan himmah yang luhur (Allah)” Beliau mengatakan, “Aku tidak pernah melihat suatu kaum yang lebih utama ketimbang kaum Sufi.” Lalu Imam Ahmad ditanya, “Bukanlah mereka sering menikmati sama’ dan ekstase ?” Imam Ahmad menjawab, “Dakwah mereka adalah bergembira bersama Allah dalam setiap saat…”

Imam Nawawi ~rahimahullah berkata : “ Pokok-pokok metode ajaran tasawwuf ada lima : Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai, mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan, berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur, ridha kepada Allah dari pemberian-Nya baik sedikit ataupun banyak dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun duka “. (Risalah Al-Maqoshid fit Tauhid wal Ibadah wa Ushulut Tasawwuf halaman : 20, Imam Nawawi).

Kesimpulannya ulama adalah muslim yang ahli ilmu agama dan mengenal Allah (ma’rifatullah) atau ulama yang berma’rifat, menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh)

Imam Sayyidina Ali r.a. pernah ditanya oleh seorang sahabatnya bernama Zi’lib Al-Yamani,
“Apakah Anda pernah melihat Tuhan?”
Beliau menjawab, “Bagaimana saya menyembah yang tidak pernah saya lihat?”
“Bagaimana Anda melihat-Nya?” tanyanya kembali.
Sayyidina Ali ra menjawab “Dia tak bisa dilihat oleh mata dengan pandangan manusia yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati”

Sebuah riwayat dari Ja’far bin Muhammad beliau ditanya: “Apakah engkau melihat Tuhanmu ketika engkau menyembah-Nya?” Beliau menjawab: “Saya telah melihat Tuhan, baru saya sembah”. Bagaimana anda melihat-Nya? dia menjawab: “Tidak dilihat dengan mata yang memandang, tapi dilihat dengan hati yang penuh Iman.”

Jika belum dapat bermakrifat yakinlah bahwa Allah Azza wa Jalla melihat kita.

Rasulullah bersabda yang artinya “jika kamu tidak melihat-Nya (bermakrifat) maka sesungguhnya Dia melihatmu.” (HR Muslim 11)

Ubadah bin as-shamit ra. berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata: “Seutama-utama iman seseorang, jika ia telah mengetahui (menyaksikan) bahwa Allah selalu bersamanya, di mana pun ia berada“

Rasulullah shallallahu alaihi wasallm bersabda “Iman paling afdol ialah apabila kamu mengetahui bahwa Allah selalu menyertaimu dimanapun kamu berada“. (HR. Ath Thobari)

Muslim yang yakin selalu merasa diawasi/dilihat oleh Allah Azza wa Jalla atau yang terbaik muslim yang bermakrifat (melihat Allah dengan hati) maka mereka mencegah dirinya dari melakukan sesuatu yang dibenciNya , menghindari perbuatan maksiat, menghindari perbuatan keji dan mungkar hingga terbentuklah muslim yang berakhlakul karimah sesuai dengan tujuan beragama atau sesuai dengan tujuan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam diutus oleh Allah Azza wa Jalla

Rasulullah menyampaikan yang maknanya “Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak.” (HR Ahmad).

Kita kaum muslim tujuan beragama adalah merupakan upaya meneladani akhlak manusia yang paling mulia, Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak menyebut Allah”. (QS Al-Ahzab:21)

“Sungguh dalam dirimu terdapat akhlak yang mulia”. (QS Al-Qalam:4)

Jadi kalau ada seseorang dikenal telah mendalami ilmu agama namun tidak berakhlak baik maka bisa dipastikan ilmu agama yang dipahaminya telah keliru, tidak disesuai dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Ketidak sesuaian dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena mereka mendapatkan ilmu dari ulama yang tidak bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Mereka mendapatkan ilmu bersandarkan akal pikiran atau prasangka manusia semata.

Ilmu agama atau ilmuNya bukan berasal dari akal pikiran manusia namun berasal dari lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang berasal dari apa yang telah diwahyukan oleh Allah Azza wa Jalla. Kemudian dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam disampaikan melalui lisan ke lisan ulama yang sholeh sampai kepada hambaNya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “di dalam agama itu tidak ada pemahaman berdasarkan akal pikiran, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32 )

Dari Ibnu Abbas ra Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda…”Barangsiapa yg berkata mengenai Al-Qur’an tanpa ilmu maka ia menyediakan tempatnya sendiri di dalam neraka” (HR.Tirmidzi)

Imam Syafi’i ~rahimahullah mengatakan “tiada ilmu tanpa sanad”.

Al-Hafidh Imam Attsauri ~rahimullah mengatakan “Penuntut ilmu tanpa sanad adalah bagaikan orang yang ingin naik ke atap rumah tanpa tangga”

Bahkan Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203

Oleh karenanya dalam memahami ilmuNya atau memahami agama Islam, sebaiknya janganlah berhenti atau berpuas diri bersandar pada akal pikiran seorang manusia. Sebaiknya telusurilah terus sampai tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam karena kebenaran adalah apa yang diwahyukanNya dan disampaikan oleh Nabi kita , Sayyidina Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam.

Telusurilah kembali apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melalui dua jalur utama yakni

1. Jalur ulama yang sholeh, bersanad ilmu atau bersanad guru tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

2. Jalur ulama yang sholeh, bernasab atau bersilsilah keturunan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang mendapatkan pengajaran agama dari orang tua-orang tua terdahulu tersambung kepada Imam Sayyidina Ali ra yang mendapatkan pengajaran agama langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Telusurilah terus hingga yakin bahwa yang diterima adalah benar dari lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukan akal pikiran manusia yang didalamnya ada unsur hawa nafsu dan kepentingan.

Marilah kita menegakkan ukhuwah Islamiyah dengan mengakhiri perselisihan karena perbedaan pemahaman. Bersatulah dengan menyambungkan sanad ilmu hingga tersambung kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Cara menyambung sanad ilmu melalui dua jalur

1. Melalui sanad guru, mengikuti ulama yang bermazhab yang tersambung kepada Imam Mazhab yang empat.

Contohnya tersambung kepada sanad gurunya Imam Syafi’i ra

Sanad guru Imam Syafi’i ra
a. Baginda Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam
b. Baginda Abdullah bin Umar bin Al-Khottob ra
c. Al-Imam Nafi’, Tabi’ Abdullah bin Umar ra
d. Al-Imam Malik bin Anas ra
e. Al-Imam Syafi’i Muhammad bin Idris ra

2. Melalui ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Ikuti apa yang disampaikan oleh Al Imam Al Haddad dan yang setingkat dengannya, sampai ke Al Imam Umar bin Abdurrahman Al Attos dan yang setingkat dengannya, sampai ke Asy’syeh Abubakar bin Salim, kemudian Al Imam Syihabuddin, kemudian Al Imam Al Aidrus dan Syeh Ali bin Abibakar, kemudian Al Imam Asseggaf dan orang orang yang setingkat mereka dan yang diatas mereka, sampai keguru besar Al Fagih Almugoddam Muhammad bin Ali Ba’alawi Syaikhutthorigoh dan orang orang yang setingkat dengannya, sampai ke Imam Al Muhajir Ilalloh Ahmad bin Isa dan orang orang yang setingkat dengannya

Sejak abad 7 H di Hadramaut (Yaman), dengan keluasan ilmu, akhlak yang lembut, dan keberanian Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra beliau berhasil mengajak para pengikut Khawarij untuk menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih dan Ahlus Sunnah wal jama’ah dalam akidah. Tidak sedikit dari kaum Khawarij yang dulunya bersifat brutal, akhirnya menyatakan taubat di hadapan beliau. Dan sebelum abad 7 H berakhir, madzhab Khawarij telah terhapus secara menyeluruh dari Hadramaut, dan Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah diterima oleh seluruh penduduknya.

Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” terutama bagi kaum Alawiyin, karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya. Ini dapat dilihat bagaimana amalan mereka dalam bidang ibadah, yang tetap berpegang pada madzhab Syafi’i, seperti pengaruh yang telah mereka tinggalkan di Nusantara ini. Dalam bidang Tasawuf, meskipun ada nuansa Ghazali, namun di Hadramaut menemukan bentuknya yang khas, yaitu Tasawuf sunni salaf Alawiyin yang sejati

Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia.

Saat ini negeri muslimin terbesar di dunia adalah Indonesia , dan yang membawa Islam ke Indonesia adalah penduduk Yaman (yang datang pada abad ke – 16 dari Hadramaut dan juga ada yang melalui Gujarat), dari keluarga Al Hamid, As Saggaf , Al Habsy dan As Syathiry, Assegaf dan lain lain (masih banyak lagi para keluarga dzurriyat baginda Nabi saw, yang sampai kini masih terus berdakwah membimbing ummat di bumi Indonesia seperti: Al Aydrus, Al Attas, Al Muhdhor, Al Haddad, Al Jufri, Al Basyaiban, Al Baharun, Al Jamalullail, Al Bin Syihab, Al Hadi, Al Banahsan, Al Bin Syaikh Abu Bakar, Al Haddar, Al Bin Jindan, Al Musawa, Al Maulachila, Al Mauladdawilah, Al Bin Yahya, Al Hinduan, Al Aidid (–bukan Aidit–), Al Ba’bud, Al Qadri, Al Bin Syahab, dan lain lain) termasuk juga para Wali Songo, yang menyebar ke pedalaman – pedalaman Papua , Sulawesi, Pulau Jawa , mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah , mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Berhati-hatilah dalam memilih dan mengikuti hasil pemahaman (ijtihad) seorang ulama. Apalagi jika hasil pemahaman (ijtihad) ulama tersebut sering dikritik atau dibantah oleh banyak ulama lainnya. Jangan menimbulkan penyesalan di akhirat kelak karena salah mengikuti ulama.

Firman Allah ta’ala yang artinya,

“(Yaitu) ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali.” (QS al Baqarah [2]: 166)

“Dan berkatalah orang-orang yang mengikuti: “Seandainya kami dapat kembali (ke dunia), pasti kami akan berlepas diri dari mereka, sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.” Demikianlah Allah memperlihatkan kepada mereka amal perbuatannya menjadi sesalan bagi mereka; dan sekali-kali mereka tidak akan keluar dari api neraka.” (QS Al Baqarah [2]: 167)





Wassalam