Pages

Subscribe:

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Pages

Ads 468x60px

Search This Blog

Featured Posts

Sabtu, 04 Agustus 2012

Sikap atsarah

Kalian akan jumpai sikap atsarah



Kami tidaklah membela kebathilan atau mempermainkan hadits, apalagi menyembah Basyar Al Assad, penguasa negeri Suriah , ~Naudzubillah minzalik

Kami hanya mempertanyakan bagaimana kalau penguasa negeri Suriah berpegang pada hadits-hadits berikut

Dari Abu Said al Khudriy bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Apabila ada baiat kepada dua orang khalifah maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR. Ahmad).”

Dan telah menceritakan kepadaku Wahb bin Baqiyah Al Wasithi telah menceritakan kepada kami Khalid bin Abdullah dari Al Jurairi dari Abu Nadlrah dari Abu Sa’id Al Khudri dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir dari keduanya.” (HR Muslim 3444)

Dan telah menceritakan kepadaku Utsman bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yunus bin Abu Ya’fur dari ayahnya dari ‘Arfajah dia berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bila datang kepadamu seseorang yang hendak mematahkan tongkatmu (memecah belah jama’ah) atau memecah belah persatuan kalian, maka bunuhlah dia (HR Muslim 3433)

Begitupula kalau kita mau melihat sejarah bahwa ketika Muawiyah ra memberontak, kekhalifahan Islam terbagi dua : satu dipimpin Sayyidina Ali ra, lainnya dibawah Muawiyah. Muawiyah adalah famili Khalifah Usman bin Affan ra, yang sebelumnya menjabat gubernur Damaskus. Ia, sebagaimana keluarga Sayyidina Utsman yang lain, mencurigai Sayyidina Ali terlibat komplotan pembunuh Khalifah Ustman.

Ketika Imam Sayyidina Ali ra syahid terbunuh, terbukalah peluang bagi Muawiyah untuk menuju jenjang kekuasaan. Demi keutuhan umat islam, Sayyidina Hasan ra yang menggantikan ayahandanya, berkompromi atau lebih tepat mengalah, dengan menyerahkan kekuasaan kepada kepada Muawiyah. Tapi belakangan Imam Hasan ra justru diracun hingga wafat pada tahun 50 H / 630 M; beliau meninggal setelah diracun istrinya sendiri, Ja’dah binti Al-As’as, atas hasutan kelompok Muawiyah, dengan janji akan mendapat hadiah 100.000 dirham. Ketika itulah banyak kalangan mendesak Sayyidina Husein ra agar memberontak terhadap Khalifah Muawiyah. Tapi, beliau hanya menjawab pendek, “selama Muawiyah masih hidup, tak ada yang bisa diperbuat, karena begitu kuatnya khalifah itu.”

Bagaimana kesabaran rakyat Suriah mentaati sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam menghadapi penguasa negeri Suriah sebagaimana hadits-hadits

Dari Ummu Salamah radliyallahu ‘anha berkata, telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam “Akan terjadi sesudahku para penguasa yang kalian mengenalinya dan kalian mengingkarinya. Barangsiapa yang mengingkarinya maka sungguh ia telah berlepas diri. Akan tetapi siapa saja yang ridha dan terus mengikutinya (dialah yang berdosa, pent.).” Maka para shahabat berkata : “Apakah tidak kita perangi saja mereka dengan pedang?” Beliau menjawab : “Jangan, selama mereka menegakkan shalat bersama kalian.” (HR. Muslim 3446).

Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Ibrahim Al Handlali telah mengabarkan kepada kami Isa bin Yunus telah menceritakan kepada kami Al Auza’i dari Yazid bin Yazid bin Jabir dari Ruzaiq bin Hayyan dari Muslim bin Qaradlah dari ‘Auf bin Malik dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: Sebaik-baik pemimpin kalian adalah mereka mencintai kalian dan kalian mencintai mereka, mereka mendo’akan kalian dan kalian mendo’akan mereka. Dan sejelek-jelek pemimpin kalian adalah mereka yang membenci kalian dan kalian membenci mereka, mereka mengutuk kalian dan kalian mengutuk mereka. Beliau ditanya, Wahai Rasulullah, tidakkah kita memerangi mereka? maka beliau bersabda: Tidak, selagi mereka mendirikan shalat bersama kalian. Jika kalian melihat dari pemimpin kalian sesuatu yang tidak baik maka bencilah tindakannya, dan janganlah kalian melepas dari ketaatan kepada mereka. (HR Muslim 3447)

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna dan Muhammad bin Basyar keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Simak bin Harb dari ‘Alqamah bin Al Wa`il Al Hadlrami dari ayahnya dia berkata, Salamah bin Yazid Al Ja’fi pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, Wahai Nabi Allah, bagaimanakah pendapatmu jika para penguasa yang memimpin kami selalu menuntut hak mereka atas kami tapi mereka tidak mau memenuhi hak kami, sikap apa yang anda anjurkan kepada kami? Maka beliau berpaling, lalu ditanyakan lagi kepada beliau dan beliaupun tetap enggan menjawabnya hingga dua atau tiga kali pertanyaan itu diajukan kepada beliau, kemudian Al Aty’ats bin Qa`is menarik Salamah bin Zayid. Beliau lalu bersabda: Dengarkan dan taatilah, sesungguhnya mereka akan mempertanggung jawabkan atas semua perbuatan mereka sebagaimana kalian juga akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan kalian. (HR Muslim 3433)

Begitupula kalau kita mau ambil pelajaran ketika Mu’awiyah ra yang sempat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan merupakan salah satu penulis wahyu, menetapkan khalifah penggantinya yaitu Yazid anaknya sendiri.

Umat Islam ketika itu telah bersentuhan dengan peradaban Persia dan Bizantium. Oleh karena itu, Muawiyyah juga bermaksud meniru suksesi kepemimpinan yang ada di Persia dan Bizantium, yaitu Monarki (kerajaan).

Akan tetapi, gelar pemimpin pusat tidak di sebut raja (malik), mereka tetap menggunakan gelar khalifah dengan makna konotatif yang di perbaharui.

Pada zaman khalifah empat, khalifah (pengganti) yang dimaksudkan adalah khalifah Rasul shalllallahu alaihi wasallam sebagai pemimpin masyarakat

Langkah awal dalam rangka memperlancar pengankat Yazid sebagai penggantinya adalah menjadikan Yaizid Ibn Muawiyyah sebagi putra mahkota (tahun 53 H).

Penunjukkan Yazid sebagai putra mahkota telah melahirkan reaksi dari masyrakat. Proses terjadi dimasyarakat karena Muawiyyah telah mengubah sistem suksesi peminpin; di samping itu, pengangkatan Yazid sebagai pengganti Muawiyyah berarti telah terjadi pelanggaran perjanjian antara Muawiyyah dengan Hasan Ibn Ali ra.

Ketika Yazid naik tahta, sejumlah tokoh terkemuka di Madinah menolak melakukan bai’at. Akan tetapi, Muawiyyah berhasil memaksa mereka untuk melakukan bai’at. Dua tokoh yang tidak berhasil dipaksa melakukan bai’at adalah Husain Ibn Ali dan Abd Allah Ibn Zuabair.

Ketika Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam akan wafat, Nabi tidak berwasiat apa-apa, baik kepada salah seorang karib, atau kepada sahabat-sahabat yang lain, tentang siapa yang akan jadi Khalifah pengganti Nabi. Persoalan yang besar ini beliau serahkan kepada musyawarah ummat Islam.

Namun Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ada pernah mewasiatkan yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra: “Barangsiapa memilih seseorang menjadi pemimpin untuk suatu kelompok, yang di kelompok itu ada orang yang lebih diridhai Allah dari pada orang tersebut, maka ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman.” (HR. Hakim)

Setelah Nabi wafat, berkumpullah orang Muhajirin dan Anshar di Madinah, guna bermusyawarah siapa yang akan dibaiat (diakui) jadi Khalifah. Orang Anshar menghendaki agar Khalifah itu dipilih dari golongan mereka, mereka mengajukan Sa’ad bin Ubadah. Kehendak orang Anshar ini tidak disetujui oleh orang Muhajirin. Maka terjadilah perdebatan diantara keduanya, dan hampir terjadi fitnah diantara keduanya.

Abu Bakar segera berdiri dan berpidato menyatakan dengan alasan yang kuat dan tepat, bahwa soal Khalifah itu adalah hak bagi kaum Quraisy, bahwa kaum Muhajirin telah lebih dahulu masuk Islam, mereka lebih lama bersama bersama Rasulullah, dalam Al-Qur’an selalu didahulukan Muhajirin kemudian Anshar.

Khutbah Abu Bakar ini dikenal dengan Khutbah Hari Tsaqifah, setelah khutbah ini ummat Islam serta merta membai’at Abu Bakar, didahului oleh Umar bin Khattab, kemudian diikuti oleh para sahabat yang lain.

Adapun Abu Bakar Siddiq adalah sahabat nabi yang tertua yang amat luas pengalamannya dan amat besar ghirahnya kepada agama Islam. Dia adalah seorang bangsawan Quraisy, berkedudukan tinggi dalam kaumnya, hartawan dan dermawan. Jabatannya dikala Nabi masih hidup, selain dari seorang saudagar yang kaya, diapun seorang ahli nasab Arab dan ahli hukum yang jujur. Dialah yang menemani Nabi ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Dia telah merasakan pahit getirnya hidup bersama Rasulullah sampai kepada hari wafat beliau. Dialah yang diserahi nabi menjadi imam sembahyang ketika beliau sakit. Oleh karena itu, ummat Islam memandang dia lebih berhak dan utama menjadi Khalifah dari yang lainnya.

Jelaslah apa yang telah dicontohkan oleh para Sahabat bahwa pemilihan berdasarkan permusyawarahan dan diwakili oleh orang-orang berkompeten untuk memilih atau yang disebut ahlu a-halli wa al-‘aqdi

Begitu pula yang dimaksud oleh ulama-ulama kita dahulu yang ikut mendirikan negara kita dalam menetapkan sila ke 4 dari Pancasila yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan”. Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang berkompeten dan dipercayai untuk melaksanakan musyawarah untuk suatu mufakat. Namun dalam perkembangannya di negara kita, orang-orang kemudian merubahnya menjadi demokrasi sebebas-bebasnya, tidak ada bedanya antara pemilih yang jahat dengan pemilih yang baik, (semua satu suara) dalam menetapkan Presiden dan Wakil presiden, Kepala Pemerintahan Daerah seperti Gubernur dan Bupati.

Firmah Allah ta’ala yang artinya,

” Wahai orang-orang beriman taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rosul-Nya dan ulil amri di antara kamu ” (QS An Nisa’ : 59 )

Seluruh pemimpin jama’atul minal muslimin yang ada dalam suatu negara/wilayah/pemerintahan kemudian membentuk ahlul halli wal ‘aqdi atau perwakilan tingkat negara/wilayah/pemerintahan yang menunjuk seorang pemimpin sebagai pemimpin negara/wilayah/pemerintahan atau penguasa atau yang kita kenal sebagai umara.

Dalam penunjukkan pemimpin tidak berdasarkan ras, suku bangsa, kaum, atau keturunan namun berdasarkan ketaatan kepada Allah dan RasulNya serta kompetensi kepemimpinan negara sebagaiman yang ditauladankan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Sedangkan pada kaum Syiah, pemimpin mesti dari keturunan Fatimah, baik dari garis keturunan Hasan ataupun Husein. Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Isma’ilyah hanya mengakui pemimpin yang berasal dari garis keturunan Husein saja. Oleh karena itu pemimpin negara yang berasal dari keturunan Hasan tidak sah bagi keduanya. Tentunya ini masalah yang pelik dalam pemikiran politik Syi’ah, sehingga menjadi sengketa dan perseteruan utama antara mereka untuk merebut kekuasaan, dengan cara saling memfasikkan dan mengkafirkan satu sama lain hanya karena perbedaan garis keturunan ini.

Namun pada kenyataannya, yang memotivasi Syi’ah Imamiyah dan Isma’iliyah untuk membatasi kelayakan pimpinan dari garis keturunan Husein saja disebabkan karena Imam Hasan mengundurkan diri dari suksesi yang terjadi antara dia dengan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dalam sukesesi tersebut, Imam Hasan menyerahkan bulat-bulat tongkat kepemimpinan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan tanpa dilakukan pemilihan. Karena peristiwa inilah yang menjadikan Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Isma’iliyah tidak memberikan kesempatan kepada garis keturunan Imam Hasan untuk menjadi pemimpin. Dan dengan peristiwa ini pulalah Syi’ah Isma’ilyah memunculkan teori politik baru yang tidak dikenal sebelumnya oleh aliran Syi’ah lain, yaitu: Imam tetap (al-Imam al-Mustaqir) dan Imam sementara (al-Imam al-Mustauda’). Tujuan teori ini untuk menutupi kekosongan pimpinan dari garis keturunan Imam Ali ra. yang timbul akibat terdapat kecacatan pada urutan suksesi dalam serangkaian imam. Oleh karena itu, dalam asumsi Syi’ah Isma’iliyah Imam Hasan adalah imam sementara sebab ia melepaskan jabatannya.

Syi’ah Zaidiyah mayoritas berpendapat bahwa imam itu tidak suci (ma’shum) tidak seperti Nabi shallallahu alaihi wasallam yang memiliki sifat ma’shum. Dan ini berbeda dengan ideologi Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Isma’iliyah yang menegaskan bahwa keseluruhan Imam-Imam Sy’iah suci (ma’shum) dari segala perbuatan dosa kecil ataupun besar, baik yang tersurat ataupun yang tersirat, sengaja atau tidak disengaja. Dan juga mereka harus terbebas dari kesalahan bahkan kelupaan dan kelalaian.

Syi’ah Zaidiyah mensyaratkan keabsahan seorang imam melalui revolusi (al-Khuruj) atau boleh kita istilahkan “revolusi pedang”. Revolusi ini melambangkan perjuangan politik Syi’ah Zaidiyah dengan ketegaran dan ketegasan serta penuh keterbukaan. Berbeda dengan aliran Syi’ah lain, – seperti Imamiyah dan Ismaíliyah- di mana perjuangan mereka dengan cara tersembunyi dan terselubung, atau dikenal dengan konsep (Taqiyyah). Dengan sistem revolusi ini, Syiáh Zaidiyah tidak menjadikan Imam Ali bin al-Husein alias Zainal Abidin masuk dalam rangkaian Imam. Sementara Syiáh Imamiyah dan Ismaílyah menjadikan Ali bin al-Hesein sebagai bagian dari silsilah imam mereka.

Konsep revolusi ini telah dirumuskan oleh pendiri Zaidiyah yaitu Imam Zaid, dan sekaligus diaplikasikan dalam kepemimpinannya sendiri untuk memberontak terhadap ketidakadiklan yang berlaku. Maka ia melancarkan revolusi politik terhadap pengusasa ketika itu, meskipun tindakan revolusi tersebut tidak mendapatkan support dari pihak keluarganya, seperti saudara kandungnya Muhammad Baqir, dan Muhammad bin al-Hanafiah. Kedua-duanya menasehati Imam Zaid mengenai bahaya yang akan dihadapinya bila ia meneruskan revolusi tersebut. Namun ia menolak nasehat tersebut, dan pergi ke luar untuk memberikan contoh kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya.

Tindakan ini mendapatkan reaksi berat dari Syiáh Imamiyah dan Syiáh Ismíliyah. Lalu mereka mengkritisi segala bentuk tindakan revolusi yang dikukan oleh para pengikut Imam Zaid setelah kematiannya.

Dapat dilihat, bahwa sikap revolusioner yang dilakukan oleh golongan Syiáh Zaidiyah dengan sendirinya menunjukkan bahwa seorang pemimpin atau kepala negara bukannya orang yang suci (Ma’shum) dan layak dikultuskan, yang tidak terlepas dari kesalahan dan dosa. Sementara bagi Syiáh Imamiyah dan Syiáh Ismaíliyah malah sebaliknya, Imam adalah simbol kesucian (Ma’shum). Maka sistem politik dan pemerintahan mereka dikenal dengan sistem Teokratis. Dan sistem ini telah dikenal sejak zaman mesir kuno, Yunani dan Rumania. Di mana seorang pemimpin negara dimata rakyat meruapakan simbol agama dan dunia sekaligus. Oleh karena itu, bentuk pemerintahan dibungkus dengan keagamaan yang terpatri dalam diri seorang raja. Ia dijadikan sebagai kekuasaan absolut yang tidak boleh dipertanyakan dalam bentuk apa pun. Tidak peduli apakah raja tersebut berlaku adil ataupun tidak. Apakah dia bijak,baik atau jahat. Kesemuanya tidak menjadi masalah, sebab keputusan yang dibuatnya menurut asumsi mereka adalah keputusan Ilahi semata. Dan konsep tersebut diadopsi oleh beberapa sistem pemerintahan yang mengaku diri Islam, dalam istilah yang dikenal dengan sistem “Teokrasi”. Padahal agama Islam sendiri tidak demikian sistemnya, sebagaimana yang dijelaskan dalam firman Allah ta’ala,

لْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوْحَى إِلَيَّ أنََمَا إَلَهُكُمْ إِلَهٌ وَاحِدٌ فَاسْتَقِيْمُوا إِلَيْهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ وَوَيْلٌ لِلْمُشْرِكِيْنَ

Yang artinya:

“Katakanlah:”Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Tuhan kamu adalah Tuhan Yang Maha Esa, maka tetaplah pada jalan yang lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.Dan kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya“ (QS (Fushshilat [41]:6)

Namun sangat disayangkan, penetrasi sistem Teokrasi ini lebih dalam daripada penetrasi sistem agama Islam.

Syiáh Zaidiyah membolehkan adanya dua pemimpin utama dalam masa dan waktu yang sama. Hal ini dibolehkan karena sesuai dengan keperluan zaman. Yaitu meluasnya daerah kekuasaan Islam yang terbentang ketika itu dari wilayah Samarqand sampai Spanyol dan selatan Prancis. Dan pandangan ini berlawanan dengan Syiáh Imamiyah dan Syiáh Isma’ilyah. Karena mereka hanya membolehkan adanya satu Imam dalam setiap masa.

Tampak jelas keunikan sistem politik Syiáh Zaidiyah dibandingkan aliran Syiáh imamiyah dan Syi’ah Ismaíliyah. Di mana pengangkatan seorang Imam dilakukan dengan jalan suksesi, yang dalam era politik sekarang dikenal dengan sistem “demokrasi”, yang dilandaskan atas konsep revolusi (al-Khuruj). Hal ini yang memotivasi Syíah Zaidiyah menolak “Taqiyyah,” yaitu perinsip perjuangan politik Syiáh Imamiyah dan Syi’’ah Ismaíliyah yang terselubung dan sembunyi.

Tercatat dalam sejarah politik Islam, Syiáh dari berbagai aliran dan sektenya selalu menjadi partai oposisi, akan tetapi metode yang digunakan oleh masing-masing aliran tersebut bervariasi antara satu sama lain. Syi’ah Zaidiyah memilih oposisi dengan caranya sendiri, yaitu dengan secara nyata dan terang. Namun aliran Syiáh Imamiyah dan Syiáh isma’iliyah lebih memilih berjuang secara rahasia melalui konsepnya “at-Taqiyyah”.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bukannya mengkhawatirkan umatnya berbuat syirik sebagaimana yang dikhawatirkan Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya namun beliau lebih mengkhawatirkan umatnya egois, individualis dan berlomba-lomba dengan kekayaan bumi, harta dunia dan kekuasaan.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku lebih dahulu wafat daripada kalian, dan aku menjadi saksi atas kalian, dan aku demi Allah, sungguh aku melihat telagaku sekarang, dan aku diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi atau kunci-kunci bumi, demi Allah, saya tidak mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik sepeninggalku, namun yang aku khawatirkan atas kalian adalah kalian berlomba-lomba mendapatkannya.” (HR Bukhari 6102)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku lebih dahulu wafat daripada kalian, dan aku menjadi saksi atas kalian, dan aku demi Allah, sungguh telah melihat telagaku sekarang, dan aku diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi atau kunci-kunci bumi. Demi Allah, saya tidak mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik sepeninggalku, namun yang justru aku khawatirkan atas kalian adalah kalian bersaing terhadap kekayaan-kekayaan bumi.” (HR Bukhari 5946)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku mendahului kalian ke telaga. Lebar telaga itu sejauh antara Ailah ke Juhfah. Aku tidak khawatir bahwa kalian akan kembali musyrik sepeninggalku. Tetapi yang aku takutkan ialah kamu terpengaruh oleh dunia. Kalian berlomba-lomba untuk mendapatkannya kemudian berbunuh-bunuhan, dan akhirnya kalian musnah seperti kemusnahan umat sebelum kalian”. (HR Muslim 4249)

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sungguh demi Allah, bukanlah kefakiran yang aku khawatirkan dari kalian. Akan tetapi yang aku khawatirkan atas kalian adalah bila kalian telah dibukakan (harta) dunia sebagaimana telah dibukakan kepada orang-orang sebelum kalian lalu kalian berlomba-loba untuk memperebutkannya sebagaimana mereka berlomba-lomba memperebutkannya sehingga harta dunia itu membinasakan kalian sebagaimana telah membinasakan mereka.” (HR Bukhari 2924)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepada kaum Anshar, “sepeninggalku nanti, akan kalian jumpai sikap atsarah (sikap egoism, individualisme, orang yang mementingkan dirinya sendiri dan kelompok). Maka bersabarlah kalian hingga kalian berjumpa denganku dan tempat yang dijanjikan untuk kalian adalah telaga al-Haudl (di surga)” . (HR Bukhari 350)

Bagi keselamatan di akhirat kelak, marilah kita taat kepada Allah dan RasulNya. Jauhilah apa yang telah dilarangNya.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengatakan, “Apa yang aku perintahkan maka kerjakanlah semampumu dan apa yang aku larang maka jauhilah“. (HR Bukhari).

Dalam menghadapi manusia yang telah bersyahadat berpeganglah dengan apa yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Rasulullah bertanya lagi: Sudahkah kamu membelah dadanya sehingga kamu tahu dia benar-benar mengucapkan Kalimah Syahadat atau tidak? Rasulullah terus mengulangi pertanyaan itu kepadaku hingga menyebabkan aku berandai-andai bahwa aku baru masuk Islam saat itu. (HR Muslim 140)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya lagi: ‘Apakah kamu yang telah membunuhnya? ‘ Dia menjawabnya, ‘Ya.’ Beliau bertanya lagi: ‘Lalu apa yang hendak kamu perbuat dengan kalimat, ‘Tidak ada tuhan (yang berhak disembah) kecuali Allah’, jika di hari kiamat kelak ia datang (untuk minta pertanggung jawaban) pada hari kiamat nanti? ‘ (HR Muslim 142)



Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar